SERIAL ANDRE DAN CALVIN 24 Welcome to the Jungle


Created and Story by: NicoLast
Edited by: Edy Cahyadi

Cahaya mentari pagi menembus kaca jendela dan jatuh tepat di atas tempat tidur Andre yang masih berantakan. Di sisi ranjang berbalut kaos biru muda dan celana gunung sebatas lutut, Andre sedang merapikan ransel besar yang terisi penuh dengan pakaian dan perlengkapan lain yang akan di bawanya latihan jasmani bersama Wisnu dan Mas Christian.

Setelah beres merapikan ransel, Andre berkaca sekali lagi untuk memastikan apakah penampilannya sudah oke atau belum, selanjutnya cowok itu menyandang ranselnya di bahu dan keluar dari kamarnya.

Andre terlihat segar dan ceria sekali pagi itu. Ransel berat di bahu terlihat tidak memberatkan Andre sama sekali. Sambil bersiul-siul kecil, tubuh tinggi atletisnya berjalan tegak menuruni tangga dari lantai dua rumahnya menuju ruang tamu.

Tadi malam sekembalinya dari rumah kontrakan Antonius, Andre langsung pulang ke rumah dan tertidur lelap di atas kasurnya yang empuk. Istirahat yang cukup, rupanya telah mengembalikan staminanya yang terkuras setelah dianal berdua sekaligus oleh Sony dan Antonius tadi malam. Tak ada lagi gurat-gurat kelelahan di wajah ganteng cowok itu.

Tiba di ruang tamu, Andre melepaskan ransel yang tadi di sandangnya dan meletakkannya di atas sofa. Saat itu telinganya menangkap suara-suara tawa dan bunyi gemericik air dari luar rumahnya. Andre mendekati jendela ruang tamu dan mengintip keluar ke arah suara yang di dengarnya tadi.

Di depan garasi di lihatnya Mas Dadang dan Mas Yusuf, dua ajudan baru Papa dan Mamanya sedang mencuci mobil dinas sang Papa. Keduanya bertelanjang dada dan hanya menggenakan celana pendek saja. Sambil mencuci mobil, mereka bercanda-canda. Mas Dadang yang kebagian menyabuni mobil, sesekali disiram air dari selang oleh Mas Yusuf. Sementara Mas Yusuf sendiri terlihat sudah basah kuyup. Tubuh-tubuh kekar kedua ajudan itu terlihat sangat indah oleh pantulan cahaya matahari. Untuk beberapa saat Andre tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia memandangi keindahan makhluk ciptaan Tuhan itu dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (hehehe).

“Lagi ngelihatin apaan Ndre?” tegur suara di belakang Andre.

“Eh, Papa,” kata Andre terkejut.

Sang Papa kemudian mengikuti arah pandangan Andre. Setelah mengetahui apa yang di perhatikan oleh anak tersayangnya itu, sang Papa tersenyum. Andre hanya bisa tersenyum malu-malu di hadapan Papanya yang masih tetap terlihat tampan dan gagah di usianya yang sudah setengah baya itu. Papa Andre tidak berkomentar sama sekali. Sang Papa sudah memaklumi apa yang ada di pikiran anak tersayangnya itu.

“Ayo kita sarapan Ndre. Sebentar lagi Mas Christian akan datang menjemput kamu,” kata sang Papa mencairkan suasana.

Andre segera mengangguk menyetujui ajakan Papanya. Kedua anak beranak itu melangkah menuju ruang makan yang terletak bersebelahan dengan ruang dapur.

“Siapa nama teman kamu itu Ndre, enggg… Calvin ya? Dia jadi ikut dengan kamu?” Tanya sang Papa di sela-sela langkahnya menuju dapur.

“Calvin gak jadi ikut pa. Tapi Andre ngajakin temen yang laen. Kebetulan dia juga pengen ikutan latihan jasmani. Wisnu namanya,” sahut Andre.

“Wisnu juga mau ikutan seleksi Akmil?” tanya sang Papa lagi.

“Iya Pa. tapi tahun depan. Wisnu masih kelas dua dan akan naek ke kelas tiga tahun ini,” sahut Andre lagi.

“O gitu!”

Di ruang makan, terlihat sang Mama sedang merapikan meja makan di bantu oleh si Mbak pembantu rumah. Andre merasa bahagia, karena pagi ini bisa sarapan pagi bersama dengan kedua orangtuanya.

“Ayo sarapan,” kata sang Mama pada suami dan anaknya itu.

***

Ricky, Indra dan Asep masih berada di hotel pagi ini. Sementara Willy sudah pulang tadi malam, setelah menyerahkan segepok uang kepada ketiga cowok itu. Karena kelelahan dan tidak ada kendaraan untuk pulang, maka Ricky, Indra dan Asep sepakat untuk tidur di hotel dan akan pulang pagi ini. Sebelum pulang ke rumah Yudha, Indra dan Asep harus singgah dulu ke rumah Ricky. Karena sepeda motor Indra, kemaren di titipkan di sana.

Willy memberikan uang sebanyak tiga juta rupiah kepada mereka bertiga. Dengan adil Ricky membagi uang itu dalam jumlah yang sama untuk mereka bertiga. Asep sampai terharu ketika menerima uang sebanyak satu juta rupiah dari Ricky. Tak pernah ia menerima dan memiliki uang sebanyak itu sepanjang hidupnya.

“Hatur nuhun atuh A’ Ricky. Hatur nuhun atuh Mas Indra,” kata Asep berkali-kali pada kedua cowok yang telah memperkenalkannya pada dunia sex bayaran itu.

Ia tak pernah menduga betapa mudahnya mendapatkan uang sebanyak itu hanya dengan modal kontolnya doang.

“Sama-sama atuh Sep,” sahut Ricky.

Sementara Indra hanya tersenyum-senyum saja.

“Saya teh gak tau harus ngomong apa sama akang berdua. Saya teh emang lagi butuh duit saat ini,” kata Asep lagi.

“Entar kalo ada yang mau ngebayar lagi, Lo mau atau enggak Sep?” tanya Indra.

“Ya pasti mau atuh Mas,” sahut Asep dengan cepat dan mantap.

Ricky dan Indra tergelak mendengar jawaban Asep itu.

“Oke deh, sekarang mendingan kita mandi dulu. Setelah itu kita pulang,” ajak Ricky.

Indra dan Asep menyetujui ajakan Ricky. Ketiga cowok ganteng itu yang masih dalam keadaan telanjang bulat, kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk mandi bersama.

***

Wisnu tiba di rumah Andre. Cowok itu datang dengan menumpang taksi dari rumahnya. Sama seperti Andre, Wisnu juga membawa ransel besar yang di sandang di bahunya. Kedatangan Wisnu di sambut dengan ramah oleh Mas Dadang dan Mas Yusuf yang sedang mencuci mobil di depan garasi.

“Mau ketemu dengan siapa Mas?” Tanya Mas Yusuf dengan suara berwibawa pada remaja itu.

Pertanyaan itu tak langsung dijawab oleh Wisnu. Sejenak cowok itu terpana memandang kegagahan ajudan Papa Andre yang sedang berdiri berbasah-basah tanpa busana di bagian atasnya yang berada di depannya itu. Matanyapun sejurus melirik ke arah Mas Dadang yang berdiri di dekat mobil. Selama ini ia belum pernah bertemu dengan kedua ajudan itu. Dalam Wisnu berpikir, apakah kedua ajudan ganteng ini sudah pernah mengentot dengan Andre atau belum.

“Mas, mau ketemu dengan siapa ya?” ulang Mas Yusuf bertanya pada Wisnu. Kali ini suara berwibawanya di cupakan dengan sedikit lebih keras. Wisnupun tersadar.

“Enggg… saya mau bertemu dengan Andre,” jawab Wisnu.

“Udah ada janji?” Tanya Mas Yusuf lagi.

“Udah Mas,” sahut Wisnu.

“Kalau begitu silakan duduk dulu Mas, enggg…”

“Wisnu Mas, Wisnu nama saya,” sahut Wisnu menyebutkan namanya.

“Baik, Mas Wisnu silakan duduk dulu di teras. Saya akan memanggilkan Mas Andre ke dalam,” kata Mas Yusuf.

Wisnu mengangguk dan menuju teras rumah Andre. Sementara Mas Yusuf mendekat ke arah Mas Dadang. Setelah berbisik-bisik sejenak dengan Mas Dadang, Mas Yusuf menggenakan kaosnya yang rupanya tadi di letakkannya di dekat mobil. Setelah itu ajudan ganteng itu masuk kedalam memanggil Andre.

Tak lama Mas Yusuf sudah keluar dari dalam rumah bersama dengan Andre. Mas Yusuf kembali melanjutkan kegiatannya mencuci mobil, sementara Andre duduk di dekat Wisnu di teras.

“Kita nunggu Mas Christian di teras aja ya Nu,” kata Andre.

“Tumben, biasanya Lo langsung ngajakin Gue ke dalem,” sahut Wisnu.

“Enakan di sini aja nungguinnya.”

“Emang kenapa?”

“Lo kok pura-pura gak ngerti gitu sih?”

“Emang Gue gak ngerti,”

“Di sini Lo bisa ngelihat penampakan. Tuh dua ajudan Papa Gue yang ganteng-ganteng yang sedang nyuci mobil sambil maen-maen aer. Kalo di dalem, Lo cuman bisa ngeliat Papa Gue, Mama Gue dan si Mbak doang. Lo pilih mana?” Tanya Andre.

“Hehehe. Ya pasti milih nunggu di sini dong kalo gitu,” sahut Wisnu

“Elo kok gak pernah ngomong, kalo punya simpenan dua cowok ganteng kayak gitu sih?”

“Enak aja simpenan. Itu ajudan Papa Gue!”

“Lo pasti udah pernah ngentot sama mereka berdua ya?”

“BElon ada kesempatan Nu.”

“Sayang banget.”

“Tapi suatu saat, pasti Gue harus ngentot dengan mereka berdua,” tekad Andre.

“Gue ikutan ya.”

“Pasti,” sahut Andre.

Kedua remaja itu terkekeh sambil sesekali memandang ke arah Mas Dadang dan Mas Yusuf. Kedua ajudan itu terlihat cuek dan terus melanjutkan kegiatan mereka berdua mencuci mobil.

***

Sementara itu di sebuah rumah tipe menengah di kawasan Kompleks Perumahan Pondok Indah, terlihat Dion dan Sonya sedang berbincang-bincang serius.

“Sepertinya sudah saatnya kita menuntaskan semua rencana kita,” kata Sonya pada Dion.

“Maksud kakak?” tanya Dion.

“Aku sudah bosan jadi simpanannya si tua itu Ion,” kata Sonya.

“Aku rasa dia belum terlalu tua kak. Masih gagah malah,” sahut Dion.

“Bagiku, dia sudah tua Ion dan sekali lagi aku katakan. Aku sudah bosan dengan dia. Lagipula kita sudah mendapatkan apa yang kita mau dari dia,” sahut Sonya.

“Tapi aku belum mendapatkan apa yang kumau dari istrinya kak. Sabar dululah,” sahut Dion.

“Apalagi yang belum kau peroleh Ion? Keponakan dan anaknya pun sudah kau garap,” sahut Sonya sedikit kesal. “Aku kuatir Ion. Kau sudah berlebihan!”

“Aku rasa, apa yang kulakukan belum berlebihan kak. Semuanya masih wajar. Kakak ingat apa yang mereka lakukan pada orang tua kita. Ingat itu kak!” Dion juga mulai kesal. Suaranya sudah semakin meninggi.

“Ketika kau menyuruhku melakukan apa saja demi melancarkan rencana kita, untuk menghancurkan keluarga besar Thomas Handoyo, termasuk melakukan incest denganmu saat bercinta bersama keluarga mereka, supaya mereka puas seperti yang kau katakan, aku bersedia, aku tidak keberatan. Meskipun mulanya aku merasa sangat jijik, melakukannya denganmu. Kau adikku Ion, kau adikku!” Sonya berteriak menumpahkan kekesalannya.

“Kenapa kak? Kau menyesal kita membalas dendam orang tua kita?” tanya Dion dengan tatapan tajam penuh kesadisan.

“Aku tidak menyesal melakukan apa saja untuk membalaskan dendam orang tua kita Ion. Aku tidak pernah menyesal! Tapi aku keberatan karena kau juga melibatkan adik kita, David dan Rafael dalam dendam ini,” sahut Sonya. Matanya mulai berair.

“Merekakan juga punya kewajiban membalaskan dendam orang tuanya kak,” sahut Dion.

“Tapi mereka masih kecil Ion, mereka masih belasan tahun. Mereka tidak tau apa-apa mulanya. Tapi kini mereka jadi seperti kita. Rusak! Hancur karena dendam!”

“Mereka melakukannya dengan sadar dan ikhlas, demi orang tua kita. Kakak jangan menyepelekan usaha mereka demi pembalasan dendam ini kak.”

“Aku tidak menyepelekan mereka Ion. Aku hanya kuatir pada apa yang akan terjadi pada mereka akibat semua dendam ini.”

“Kakak tidak perlu kuatir dengan kami,” kata sebuah suara laki-laki lain selain Dion.

Suara itu berasal dari David. Cowok itu berjalan mendekati Dion dan Sonya, diikuti seorang cowok lain yang berusia lebih muda dari mereka bertiga, yaitu Rafael.

“Kami tidak peduli harus melakukan apapun, yang penting dendam orang tua kita terbalaskan,” kali ini Rafael yang berbicara.

Sonya, Dion, David dan Rafael ternyata adalah empat orang saudara sekandung. David dan Rafael sama-sama bersekolah di sekolah yang sama dengan Andre dan Calvin. Dendam apa yang mereka maksudkan dan siapa sebenarnya Thomas Handoyo itu?

***

“Tot! Tot! Tot!”

Andre dan Wisnu yang sedang ngobrol di teras sambil sesekali melirik ke arah Mas Dadang dan Mas Yusuf tersentak kaget. Serentak keduanya mengarahkan pandangan mereka menuju pintu gerbang, tempat datangnya suara keras yang cukup memekakkan telinga itu.

Sebuah mobil jip berwarna hijau tua memasuki halaman rumah Andre. Mobil itu di kendarai oleh Mas Christian. Dari jendela mobil, perwira ganteng itu tersenyum hangat sambil melambaikan tangan kirinya ke arah Andre dan Wisnu. Kedua remaja itu membalas lambaian tangan perwira muda itu dengan melambaikan tangan juga. Andre segera masuk ke dalam rumah, bermaksud pamitan sekaligus memberitahukan kedatangan Mas Christian pada kedua orang tuanya.

Setelah memarkirkan mobil, Mas Christian turun dari mobil. Mas Dadang dan Mas Yusuf serentak mengangkat tangan, memberikan hormat militer pada sang perwira. Keduanya masih bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek karena belum juga selesai mencuci mobil. Mas Christian membalas penghormatan kedua ajudan Papa Andre itu dengan penghormatan juga sambil berjalan dengan gagah menuju teras.

Perwira muda itu terlihat sangat tampan dengan setelan kaos tanpa lengan berwarna hijau dan celana loreng. Tubuh tinggi kekarnya, membuat penampilannya terlihat jantan dan mempesona. Otot-ototnya yang terbentuk sempurna bak pahatan patung Yunani di balut kulit bersih kuning langsat, mau tak mau akan membuat siapa saja akan terpesona melihatnya.

Bukan bermaksud ikut-ikutan dengan apa yang di lakukan oleh Mas Dadang dan Mas Yusuf, namun entah kenapa secara spontan Wisnu juga memberikan penghormatan militer pada perwira muda itu. Penghormatan itu di balas oleh Mas Christian dengan penghormatan juga. Saat mengangkat tangan memberikan hormat, ketiaknya yang putih di tumbuhi bulu ketiak halus yang panjang dan lebat itu terlihat jelas di mata Wisnu.

“Kamu yang namanya Wisnu?” Tanya Mas Christian ramah.

“Benar Pak,” sahut Wisnu.

“Jangan panggil Pak, panggil Mas saja,” kata Mas Christian.

“Baik Pak, eh Mas,” sahut Wisnu.

“Andrenya kemana?”

“Sebentar ke dalam Mas. Silakan duduk dulu Mas,” kata Wisnu mempersilakan.

Christian kemudian duduk di kursi tepat di depan Wisnu. Baru saja Mas Christian duduk, Andre dan kedua orangtuanya tiba-tiba muncul. Mau tak mau Mas Christian bangkit berdiri dari duduknya di ikuti oleh Wisnu.

“Apa kabar Dik Chris?” Tanya Papa Andre sembari menjabat tangan Mas Christia.

“Kabar baik Pak,” sahut Mas Christian.

“Ayo silakan masuk,” kata Mama Andre.

“Terima kasih Bu. Saya pikir, karena semuanya sudah siap. Lebih baik kami langsung berangkat saja,” kata Mas Christian.

“Minum dulu dong, sebentar,” bujuk Mama Andre lagi.

“Terima kasih banyak Bu, lain kali saya akan singgah kemari lagi,” sahut Mas Christian.

“Janji lho ya!” kata sang Mama ramah.

Sepertinya sang Mama terpeona melihat kejantanan perwira muda ini.

“Saya janji Bu,” sahut Mas Christian.

“Kalau begitu kami permisi dulu,” kata Mas Christian.

“Hati-hati ya. Ibu titip anak-anak ini ya Dik,” kata sang Mama.

“Siap Bu.”

Mas Christian diikuti Andre dan Wisnu kemudian menuju mobil jip dan kemudian mereka berangkat meninggalkan rumah Andre.

***

Di rumah Calvin.

Mama Calvin baru saja selesai di periksa oleh dokter keluarga mereka. Meski pun sudah sadar, namun sampai saat ini kondisinya masih lemah terbaring di tempat tidur. Sang Mama belum mau berbicara dengan siapa pun juga. Termasuk dengan putranya tersayang.

Papa Calvin sedang berbicara dengan sang dokter, menanyakan perkembangan kondisi terakhir sang istri. Calvin hanya mendengarkan saja pembicaraan Papanya dengan sang dokter. tak ada komentar apapun keluar dari mulut cowok itu.

“Istri Anda sepertinya sedang syok berat. Saya sudah berikan obat untuk menenangkan jiwanya. Mudah-mudahan hari ini kondisinya akan lebih baik,” kata sang dokter menjelaskan.

Setelah itu sang dokter pamitan, tinggallah Calvin dan Papanya memandangi sang Mama yang tergolek lemas di atas ranjang.

“Biarkan Mama istirahat dulu Vin. Kita lebih baik di luar,” kata sang Papa mengajak anak semata wayangnya meninggalkan sang Mama di dalam kamar.

Calvin mengikuti ajakan papanya.

“Apa yang terjadi dengan Mama tadi malam Vin?” Tanya sang papa.

“Calvin juga kurang jelas Pa. Yang pasti setelah menerima telepon dari Tante Rini, Mama langsung lemas dan kemudian jatuh pingsan,” sahut Calvin.

“Kabar apa ya yang kira-kira di sampaikan oleh Tantemu sampai Mama bisa seperti itu?” tanya sang Papa.

“Calvin gak ngerti Pa. Apa tidak sebaiknya Papa menanyakan hal itu kepada Tante Rini?”

“Kenapa kamu tidak menanyakannya langsung tadi malam kepada Tantemu?”

“Calvin bingung melihat kondisi Mama, Pa. Lagi pula Calvin sungkan menanyakannya langsung kepada Tante. Siapa tahu Calvin belum boleh mengetahui masalah itu. Papa juga sih, Calvin telepon berkali-kali gak di angkat.”

“Papa sibuk sekali tadi malam sayang. Papa ada rapat yang tidak mungkin Papa tinggalkan,” kata sang papa beralasan. Padahal tadi malam sang Papa sedang asik pesta sex dengan Sonya dan Dion.

“Papa coba hubungi Tante Rini sekarang dong,” kata Calvin mengingatkan.

“Baiklah, Papa akan hubungi Tantemu sekarang,” kata sang Papa.

Dengan telepon genggamnya sang Papa menelepon sang Tante. Namun ternyata telepon genggam sang Tante sedang tidak aktif. Papa Calvin kemudian menelepon ke rumah saudara kandung istrinya. Berkali-kali menelepon, tidak ada juga yang mengangkat.

“Ada apa ya Vin? Kenapa sulit sekali menghubungi Tante Rini?” tanya sang Papa bingung.

Calvin juga sama bingungnya dengan Papanya.

***

Sony sedang berbicara dengan Pak Simangunsong, Kepala SMA Dwi Warna. Kepada kepala sekolah itu, Sony menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminta data-data siswa di sekolah itu yang beralamat tempat tinggal di kawasan Pondok Indah. Dengan alasan untuk kepentingan penyelidikan, karena ada dugaan penyebaran narkoba di kalangan siswa sekolah tersebut. Dengan segera permintaan Sony di penuhi oleh sang kepala sekolah.

Data yang di peroleh Sony sangat lengkap. Tidak hanya nama dan alamat, foto dan data orang tua siswa yang bersangkutan juga di berikan oleh sang kepala sekolah. Tentu saja Sony sangat berterima kasih atas bantuan sang kepala sekolah itu. Data yang diterimanya akan semakin mempermudah penyelidikan yang di lakukannya.

Setelah mendapatkan data yang di perlukan yang di serahkan oleh sang kepala sekolah dalam satu map, Sony meninggalkan sekolah itu dan segera menghubungi Andre. Saat itu Andre sedang berada di atas mobil jip yang di kendarai Christian menuju Sukabumi.

“Halo Ndre, kamu ada di mana sekarang?” Tanya Sony melalui telepon.

“Halo Mas, saya sedang bersama Wisnu akan berangkat ke Sukabumi.”

“Berapa lama kamu di sana?”

“Sekitar satu minggu Mas. Ada apa kira-kira Mas?”

“Begini, saya sudah mendapatkan data teman-teman kamu yang tinggal di kawasan Pondok Indah. Kapan kita bisa membicarakannya?”

“Pengennya kalo bisa sekarang Mas. Tapi saya sudah di jalan nih Mas. Gimana dong?”

“Kalau begitu kita membicarakannya setelah kamu kembali saja ya.”

“Maaf nih Mas. Kira-kira keberatan gak kalau Mas Sony ikut ke Sukabumi bersama kita sekarang? Saya sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa kira-kira pelakunya Mas,” sahut Andre.

“Boleh aja sih. Tapi saya tidak bisa ikut kalau hari ini, masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan di kantor. Bagaimana kalau dua hari lagi. Saya akan menyusul kalian ke Sukabumi?”

“Boleh juga Mas. Terima kasih banyak atas bantuannya Mas.”

“Sama-sama. Sekarang kalian berangkat saja dulu dan latihan dengan serius ya supaya bisa lulus Akmil.”

“Terima kasih juga atas doanya Mas,” sahut Andre.

Setelah menelepon Andre, Sony segera berangkat menuju kantornya dengan menggunakan bus.

***

Kedatangan David dan Rafael membuat perdebatan sengit antara Dion dan Sonya terhenti sejenak. Sonya memandangi wajah kedua adiknya yang ganteng-ganteng itu dengan tatapan sedih.

“Kakak tidak perlu mengkuatirkan kami,” kata Rafael mendekati Sonya.

Dipeluknya tubuh kakaknya itu dengan erat. Sonya menangis sesunggukan di pelukan adik bungsunya itu.

“Iya kak. Sudahlah jangan menangis lagi. Semua apa yang kita lakukan pasti akan membuahkan hasil seperti yang kita harapkan,” kata Dion.

“Aku benar-benar kuatir Yon. Aku sering bermimpi buruk belakangan hari ini. Aku kuatir akan terjadi hal-hal yang tidak baik pada kita semua,” kata Sonya masih sambil terisak-isak.

“Mimpi hanya bunga tidur kak. Tidak usahlah kakak fikirkan,” kata Dion.

Sonya masih terisak. Rafael dan kini David pun ikut membantu adiknya membujuk kakaknya itu. Sementara Dion meninggalkan ketiga saudaranya dan pergi entah kemana.

***

Waktu berlalu tanpa terasa. Menjelang sore tibalah Andre, Christian dan Wisnu di Sukabumi. Namun perjalanan mereka masih jauh. Mobil jip Christian terus melaju hingga akhirnya mereka tiba di kawasan kebun teh yang cukup jauh dari perkampungan penduduk. Akhirnya mobil jip itu berhenti di sebuah bangunan rumah berukuran mungil yang memiliki halaman cukup luas. Inilah rupanya yang di maksudkan Christian dengan Villa.

Andre dan Wisnu sejenak mengernyitkan dahi memandangi tempat yang dipilih Christian untuk melatih mereka. Tak ada garasi di rumah itu. Mobil jip Christian hanya di parkirkan di samping bangunan rumah mungil itu.

“Villanya ini Mas?” tanya Andre.

Rupanya ia tak tahan untuk memastikan apakah Christian tidak salah membawa mereka. Dalam bayangan Andre, yang namanya villa itu adalah seperti villa milik keluarga Cindy yang pernah mereka gunakan untuk berpesta sex.

“Iya, ini villanya,” sahut Christian dengan suara datar. Ia mengambil ransel miliknya yang ada di dalam jip.

Reaksi Christian yang datar saja membuat Andre tidak mengajukan pertanyaan lagi. Ia segera menyandang ranselnya, begitu juga Wisnu. Kedua remaja itu kemudian mengikuti langkah Christian menuju pintu villa itu.

“Tok! Tok! Tok!”

Christian mengetuk pintu villa itu. Sejurus kemudian terdengar suara pintu di buka dari dalam. Seraut wajah pemuda desa yang lugu muncul dari balik pintu.

“Cari siapa ya?” tanya pemuda itu.

“Saya Christian. Kami sudah minta ijin ke Bapak Suyatna untuk menggunakan villa ini selama seminggu,” kata Mas Christian.

“O, Pak Christian. Silakan masuk atuh Pak. Saya memang sudah di pesenin kemarin, untuk menerima ke datangan Bapak hari ini,” sahut pemuda itu ramah. Ia kemudian membuka pintu lebar-lebar.

“Nama kamu siapa?” tanya Christian.

“Nama saya Praditya Pak. Panggil aja saya Didit,” sahutnya.

“Baiklah Dit. Kenalkan ini Andre dan yang ini Wisnu. Mereka saya bawa kemari untuk latihan fisik persiapan testing Akmil,” kata Christian menerangkan.

“Ayo Pak, silakan masuk,” kata Didit.

Andre memperhatikan Didit dengan seksama. Pemuda desa itu menggenakan baju hangat dan celana panjang tebal. Wajahnya cukup menarik untuk ukuran pemuda desa, di hiasi hidung mancung dan kumis tipis di atas bibirnya yang merah. Tubuhnya jangkung dan posturnya kekar. Dalam benak Andre langsung muncul keinginan cabul untuk mengetahui dan menikmati seluruh bagian dalam Didit yang tersembunyi di balik pakaiannya itu. Namun sementara ini Andre harus melupakan sejenak pikiran cabulnya. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak menemukan tanda-tanda Christian memiliki kemungkinan orientasi sexual sesama jenis. Karena itu ia tidak mau mengambil risiko orientasi sexualnya di ketahui oleh kenalan Papanya itu.

Rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur. Andre dan Wisnu menempati satu kamar berdua, sedangkan Christian di kamar yang lain. Sementara Didit akan tidur di ruang tamu yang memiliki satu set sofa berukuran sedang.

Tak ada kamar mandi di dalam kamar tidur. Kamar mandi hanya ada satu di belakang rumah yang di kelilingi dengan tembok batu bata tanpa atap. Untuk mengambil air, mereka harus menimba dulu dari dalam sumur. Untunglah di villa itu ada listrik, namun begitu tidak ada televisi disitu. Yang ada hanya sebuah radio transistor tua yang sedang memperdengarkan dendang Sunda dari speaker yang bunyinya sudah kresek-kresek gak jelas.

“Kenapa sih Mas Christian milih tempat latihan gini amat? Kayaknya kita sedang berada di zaman batu aja,” kata Andre ngedumel saat mereka membereskan ransel di dalam kamar.

“Santai aja Ndre. Gue rasa Mas Christian sudah tepat memilih tempat ini untuk melatih jasmani dan mental kita. Akmil bisa jadi lebih sulit medannya di bandingin ini,” kata Wisnu.

Semakin lama Andre semakin kagum dengan juniornya ini. Semakin mengenal Wisnu lebih jauh, Andre semakin menyadari bahwa Wisnu memang sering berpikiran lebih bijak di bandingkan dirinya. Sebetulnya Andre ingin mengomel lagi tentang alas tidur mereka yang hanya berupa kasur kecil lusuh yang sudah tipis tanpa tempat tidur. Namun teringat kata-kata Wisnu tadi ia tidak jadi berkomentar apa-apa tentang alas tidur itu.

Andre hendak membaringkan tubuhnya sejenak di atas kasur tipis itu. Tubuhnya terasa penat duduk di mobil jip yang sempit selama berjam-jam tadi di rasakannya perlu di istirahatkan sejenak. Namun belum lagi tubuhnya mulai berbaring, tiba-tiba pintu kamar itu sudah di buka dari luar. Christian muncul dari balik pintu.

“Ayo bangun Ndre. Ini bukan saatnya bermalas-malasan. Kalian mandi dulu sebelum gelap. Kalau sudah gelap airnya akan semakin dingin. Nanti kalian bisa beku. Ayo bangun!” perintah Christian.

Andre tersipu malu jadinya. Ia segera berdiri dan mengambil perlengkapan mandinya. Begitu juga Wisnu. Kedua remaja itu kemudian di giring oleh Christian ke kamar mandi.

“Mulai sekarang, kalian harus berlatih menggunakan waktu seefisien mungkin,” kata Christian. Perwira itu kemudian memandang ke jam tangan yang melekat di pergelangan tangan kanannya.

“Saya hanya memberikan waktu kepada kalian berdua mandi selama lima menit saja. Di mulai dari sekarang!” katanya.

Andre dan Wisnu mau tak mau segera bergegas. Tak peduli di hadapan Christian, keduanya segera menelanjangi diri. Waktu yang hanya di berikan selama lima menit tidak mungkin cukup kalau mereka tidak mandi berdua sekaligus. Keduanya bergantian mulai menimba air dan menuangkannya ke dalam ember yang ada di dalam kamar mandi itu. Wisnu yang menimba pertama dan Andre menyabuni tubuhnya dengan sabun. Setelah itu gantian Andre yang menimba air dan Wisnu yang menyabuni tubuhnya dengan sabun. Setelah selesai menyabuni tubuh secukupnya, mereka membilas tubuh mereka dengan sisa air yang di dalam ember. Air yang dingin tak terlalu di rasakan, karena mereka melakukannya dengan terburu-buru takut kehabisan waktu.

Christian berdiri di depan pintu kamar mandi yang terbuka lebar, memperhatikan apa yang di lakukan kedua remaja itu sambil sesekali melihat jam tangannya yang sekaligus berfungsi sebagai stop watch. Lima menit terlewati sudah.

“Selesai!” kata Christian tiba-tiba.

Andre dan Wisnu yang masih melakukan bilasan air ke tubuh mereka untuk membersihkan busa sabun yang menempel terkejut. Mereka belum sempat menggosok gigi!

“Malam ini kalian tidur tanpa menggosok gigi,” kata Christian datar.

“Karena kalian tidak mandi sesuai waktu, maka dengan segala hormat saya persilakan kalian untuk push up tiga puluh kali sebagai hukuman. Di mulai dari sekarang!”

Dengan tubuh telanjang bulat yang masih basah kuyup, kedua remaja itu dengan pasrah melakukan push up sebanyak tiga puluh kali seperti yang di perintahkan Christian.

SERIAL ANDRE DAN CALVIN 24 Welcome to the Jungle. There are any SERIAL ANDRE DAN CALVIN 24 Welcome to the Jungle in here.