SERIAL ANDRE DAN CALVIN 38 : Tak Terduga



CREATED, STORY, AND EDITED BY: NICOLAST

Pengunjung bioskop bangkit dari kursi mereka, kemudian berjalan ke luar ruangan studio setelah film yang diputar berakhir, menyisakan rolling title dan musik penutup yang menyertainya di layar. Di antara penonton itu ada Silvia dan Sony. Silvia menggelendot manja di lengan Sony saat keduanya berjalan keluar studio beriringan dengan penonton lainnya.

“Kita kemana lagi sayang?” tanya Sony mesra pada putri semata wayangnya itu.

“Enggak kemana-mana ah pa. Silvia capek. Kita langsung pulang aja deh,” sahut Silvia manja.

Sony mengangguk mendengar jawaban putrinya. Kemesraan anak dan bapak ini bukan enggak mungkin menimbulkan pemikiran yang enggak-enggak dari penonton lain yang melihatnya. Bisa jadi mereka berpikiran kalo Sony itu adalah om senang yang kencan dengan abege, hehehehe.

Melewati lorong menuju pintu keluar gedung bioskop yang remang-remang terdapat kamar mandi. Sony rupanya kebelet pipis sejak tadi karena itu ketika melihat kamar mandi ia langsung minta ijin pada Silvia untuk ke kamar mandi sejenak. Silvia tak keberatan. Silvia kemudian menunggu di depan pintu kamar mandi.

Di dalam kamar mandi ternyata ramai. Ruangan kamar mandi yang emang tak terlalu luas itu jadi terasa makin sempit seolah-olah tak menyisakan ruang kosong lagi saking ramainya cowok-cowok yang kebelet pipis usai nonton, hehehe. Urinoir dan ruang wc ternyata telah digunakan semua sehingga Sony dan beberapa cowok lain terpaksa harus antri menunggu giliran.

Sony mengamati tampang dan tingkah cowok-cowok dalam kamar mandi itu. Tampang mereka umumnya cakep-cakep dan sebagian besar berusia remaja meskipun ada juga yang dewasa seperti dirinya. Ada tiga cowok remaja yang cuek banget gayanya. Mereka pipis bertiga berjajar di depan urinoir sambil ngobrol mengomentari film yang barusan mereka tonton. Ketiganya berdiri tidak terlalu rapat dengan urinoir. Entah ketiganya sengaja atau tidak yang pasti karena posisi berdiri mereka yang seperti itu maka kontol mereka yang sedang mengucurkan air kencing bisa terlihat dengan jelas oleh cowok lain yang kebetulan antri berdiri di samping mereka.

Jakarta emang kota megapolitan yang penuh dengan orang-orang cuek. Remaja-remaja itu tak peduli kontol mereka diliatin oleh cowok yang juga tanpa malu-malu melototin tiga batang kontol fresh sambil ngantri disamping mereka. Ketiga remaja itu tak berhenti ngobrol sampai pipis mereka usai dan kemudian berjalan beriringan keluar dari kamar mandi.

Sony akhirnya dapat kesempatan juga pipis di urinoir. Selesai pipis ia segera bersiap-siap untuk keluar dari kamar mandi. Sony tak mempedulikan cowok cakep yang dengan mata jelalatan melirik dirinya sambil tersenyum mesum dan berusaha mengintip batang kontolnya saat mereka berdua pipis bersebelahan. Sony emang sengaja jaim karena gak mau berlama-lama di dalam kamar mandi mengingat putri semata wayangnya sedang menunggu di luar.

Saat Sony akan membuka pintu hendak keluar dari ruang kamar mandi itu tiba-tiba ia merasa punggungnya dicolek seseorang dari belakang. Sony langsung menolehkan wajahnya ke belakang dan bersiap-siap untuk marah karena mengira yang mencoleknya adalah cowok yang tadi pipis disebelahnya.

“Habis nonton juga Mas?” sapa cowok yang mencoleknya ramah begitu Sony menolehkan wajahnya.

“Eh kamu rupanya Wis,” sahut Sony dan segera mengubah raut wajahnya yang tadi udah dipersiapkan untuk marah menjadi senyuman hangat. Cowok yang mencoleknya itu ternyata Wisnu. “Iya, saya habis nonton.”

“Sama siapa Mas?” tanya Wisnu. Cowok ini memang masih memanggil Sony dengan sebutan Mas karena belum mengetahui bahwa Sony ini adalah papanya Doni.

“Sama putri saya. Kamu sendirian?”

“Engak Mas. Sama cewek,” sahut Wisnu mesem.

“Pacar kamu ya?” tanya Sony menggoda.

“Cuman temen doang, Mas,” sahut Wisnu masih tetap mesem.

“O gitu. Kalo cuman temen doang kamu kok mesti mesem-mesem gitu?” godaan Sony ke Wisnu masih berlanjut.

“Udah deh Mas, gak usah dibahas,”

“Hehehe. Kamu tadi pipis juga?”

“Iya Mas,”

“Kok tadi gak keliatan?”

“Saya pipisnya didalam wc,”

“Pantes,”

Keduanya melanjutkan ngobrol sambil membuka pintu kamar mandi dan berjalan keluar bersisian. Begitu tiba di luar Sony tak menemukan Silvia di depan pintu kamar mandi. Ia memalingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan lorong keluar bioskop mencari-cari putrinya itu.

“Putrinya gak ketemu Mas?” tanya Wisnu.

“Iya nih. Padahal tadi nunggunya di depan pintu kamar mandi ini,”

“Barangkali udah nunggu di luar. Yuk kita keluar aja, tadi saya juga udah janjian ketemu diluar dengan cewek yang saya ajak nonton,”

“Bener juga kamu. Ya udah kita keluar aja,”

Keduanya kemudian berjalan menyusuri lorong menuju keluar gedung bioskop. Mereka ngobrol basa-basi sepanjang menyusuri lorong hongga tak lama kemudian tibalah mereka diluar gedung bioskop. Sony langsung melihat sosok Silvia sedang ngobrol-ngobrol dengan seorang gadis cantik sebaya dengannya tak jauh dari pintu keluar bioskop.

“Nah itu putri saya,” kata Sony pada Wisnu sambil menunjuk ke arah Silvia.

“Lho, itukan Silvia. Jadi Mas Sony ini papanya Silvia?” tanya Wisnu kaget.

“Iya,” sahut Sony.

“Kalo gitu Mas Sony juga papanya Mas Doni dong?” tanya Wisnu lagi. “Kok gak pernah bilang sih?”

“Saya juga gak tau kalo selama ini kamu ternyata satu sekolah dengan Doni dan Silvia. Kamukan gak pernah cerita kalo kamu itu sekolah di SMA Dwi Warna,” sahut Sony.

“Mas, eh Om—saya harus manggil Om dong kalo gitu—juga gak pernah nanya sih,” sahut Wisnu. “Andre harus saya kasih tau nih segera,” kata Sony lagi ia langsung teringat bahwa Andre juga sudah kenal pada Sony. Wisnu belum tahu kalo Andre sudah mengetahui lebih dulu tentang ini daripada dirinya.

“Andre udah tau duluan Wis,” sahut Sony.

“Lho, kok bisa?”

“Ceritanya panjang. Mending kamu tanya Andre deh. Sekarang lebih baik kita pikirkan alasan kenapa kita bisasaling kenal. Tuh Silvia udah ngelihat kedatangan kita,”

“Kita emang harus segera menciptakan alasan Mas, eh Om, karena cewek yang sedang ngobrol itu adalah cewek yang nonton bareng saya dan cewek itu adalah teman Silvia. Cindy namanya,”

“Ha????” Sony terkesima.

Sedang Sony dan Wisnu sedang kebingungan, Silvia dan Cindy yang tadinya sedang asik ngobrol rupanya sudah melihat mereka berdua dan langsung melambaikan tangan memanggil Sony dan Indra.

“Kok bisa kebetulan kayak gini sih Wis. Duh, kita enaknya ngaku kenal dimana ya?” tanya Sony bingung. Otaknya tiba-tiba terasa buntu.

“Bilang aja pernah dikenalin Doni, Om,” sahut Wisnu. Tiba-tiba saja ide itu muncul di benaknya.

“Dikenalin Doni waktu acara apaan Wis?” tanya Sony.

“Waktu acara basket sekolahan Om. Dulukan Doni kapten tim basket sekolah, saya salah seorang anggota tim juga,” sahut Wisnu.

“Kamu bener-bener jenius Wis,” sahut Sony gembira.

Keduanya kemudian berjalan cepat mendekati tempat Silvia dan Cindy yang menunggu.

“Pa, kenalin ini teman sekolah dan pimpinan cheerleader di sekolah, Cindy,” kata Silvia langsung mengenalkan gadis itu yang ternyata Cindy pada Sony.

“Cindy, Om,” kata Cindy ramah sambil mengulurkan tangannya mengajak Sony berjabat tangan.

“Halo Cindy,” sapa Sony ramah.

“Halo Om. Eh, Om kenal sama Wisnu?” tanya Cindy bingung.

“Kenal dong,” Wisnu yang menyahut.

“Papa kenal sama Mas Wisnu dimana?’ giliran Silvia yang bertanya dengan nada menyelidik.

“Waktu kakak kamu masih sekolah Sil,” sahut Sony.

“Iya, waktu acara basket sekolahan,” tambah Wisnu memperjelas.

“O gitu,” sahut Silvia dan Cindy serempak.

“Jadi Wisnu dan Cindy ini pacaran ya?” tanya Sony dengan gaya menggoda bermaksud mengalihkan dan mengubah fokus pembicaraan agar tak terpusat pada dirinya dan Wisnu.

“Ya tergantung Cindy, Om,” sahut Indra dengan gaya seolah-olah malu-malu. Ia berakting gaya malu-malu sebaik mungkin karena paham maksud Sony yang mengalihkan dan mengubah fokus pembicaraan.

“Maksudnya tergantung Cindy gimana nih? Om lihat kalian udah cocok banget kok. Yang satu cantik yang satu ganteng,” kata Sony lagi.

“Om ada-ada aja deh,” sahut Cindy salah tingkah.

“Pa, udah deh. Papa ini ngurusin urusan anak muda aja sih. Mending kita pulang yuk pa,” kata Silvia memotong melihat kesalahtingkahan Cindy.

“Oke deh. Kalo gitu Om dan Silvia pulang duluan nih,” kata Sony. Reserse ini lega setelah sukses mengalihkan dan mengubah fokus pembicaraan berganti ke Wisnu dan Cindy tidak lagi dirinya dan Wisnu. “Ingat lho, jangan kelamaan pulangnya, entar dicariin orang tua kalian. Dan khusus untuk kamu Wis, Cindy diantar pulang sampe ke rumah ya,” kata Sony dengan gaya bijak menasehati Wisnu dan Cindy sebelum ia dan Silvia berlalu dari kedua remaja itu.

“Beres Om,” sahut Wisnu.

Kemudian merekapun berpisah. Sony dan Silvia pulang sedangkan Wisnu dan Cindy masih akan melanjutkan jalan-jalan berdua. Apakah Cindy dan Wisnu akan jadian? Entahlah. Yang pasti setelah putus dari Andre, Cindy selalu mengajak Wisnu untuk menemaninya dan cowok itupun tak pernah menolak.

***

Pintu ruang interogasi diketuk dari luar. Antonius segera berdiri dari duduknya dan membukakan pintu. Di depan pintu sudah berdiri Bayu dan menyerahkan plastik berisi beberapa kotak makanan cepat saji pada Antonius.

Asik mendengarkan cerita Dion yang panjang dan masih belum selesai juga ternyata tanpa mereka sadari waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mereka berenam, Antonius, Papa Calvin, Dion, Om Hendra, Ali, dan Bayu rupanya sudah kelaparan. Karena itu Papa Calvin lalu meminta Ali dan Bayu menelpon layanan delivery sebuah restauran cepat saji untuk memesan makanan dan segera mengantarkannya ke kantor polisi ini.

Begitu melihat Bayu mengantarkan makanan pesanan mereka, Papa Calvin langsung berdiri dan mengambil uang dari dompetnya dan menyerahkan uang tersebut pada Bayu sebagai pembayaran pesanan makanan mereka.

“Uangnya kelebihan nih pak,” kata Bayu melihat tiga lembar uang seratus ribu yang diberikan Papa Calvin padanya.

“Kalo lebih untuk kamu aja,” sahut Papa Calvin.

“Makasih pak,” sahut Bayu dan kemudian menutup pintu ruang interogasi.

“Oke deh mendingan kita makan aja dulu,” kata Papa Calvin.

“Betul, selesai makan entar ceritanya dilanjutin lagi,” sambung Om Hendra.

“Bener Om. Perut saya juga rasanya udah kelaparan nih,” sahut Dion.

Dion bersemangat sekali melihat makanan cepat saji yang sudah terhidang itu. Selain karena kelaparan ia juga merasa senang karena akhirnya malam ini ia tidak harus makan makanan yang disediakan untuk tahanan yang menurutnya rasanya tidak enak sama sekali.

***

“Gue pingin mengundurkan diri jadi ajudan disini Dang,” kata Yusuf pada Dadang.

“Lho? Emang kenapa Suf? Jadi ajudan menteri kan enak. Orang laen aja pingin, kamu malah mau ngundurin diri. Ada-ada aja,” sahut Dadang.

Kedua ajudan ganteng itu sedang berbaring di atas tempat tidur mereka masing-masing di dalam kamar yang diperuntukkan buat mereka. Kamar yang dulunya diperuntukkan untuk Dharma dan Fadly di rumah keluarga Andre.

“Gue merasa malu dan jengah tinggal disini Dang,” sahut Yusuf.

“Emang kenapa Suf?”

“Dang, ibu tahu tentang apa yang kita lakukan dengan bapak,” sahut Yusuf sambil menatap ke arah Dadang.

“Maksud Lo?” tanya Dadang kaget. Ia balas menatap sahabatnya itu.

“Ibu tahu kalo kita kentot-kentotan sama bapak. Ibu udah lama tahu tentang bapak yang emang doyan laki-laki,” sahut Yusuf.

“Astaga! Kok Lo tahu kalo ibu tahu soal ini?”

“Ibu ngomong ke Gue,”

“Ya Tuhan,” kata Dadang gelisah. Kedua telapak tangannya menangkup menutupi wajahnya.

Kedua ajudan macho itu terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing untuk waktu yang cukup lama.

“Gue gak sanggup rasanya ngelihat wajah ibu tiap hari Dang, sementara Gue tahu kalo ibu tahu tentang itu,”

“Bukan hanya Lo Suf, Gue juga kalo gini bakal gak sanggup,”

“Itulah sebabnya Dang makanya Gue pingin ngundurin diri aja jadi ajudan disini,”

“Menurut Gue sebaiknya kita ngomong dulu ke Bapak, Suf,”

“Trus kalo nanti reaksi Bapak gak seperti yang kita harapkan gimana?”

“Mending kita gak usah berandai-andai dulu Suf,”

“Kapan kita ngomong ke Bapak?”

“Sebaiknya besok. Menurut Gue mending Gue aja yang ngomong dulu ke Bapak sambil berangkat ke kantor besok,”

“Baiklah kalo gitu,”

“Gue gak pernah bayangkan seperti ini Suf,”

“Gue juga Dang,”

“Udah deh Suf, mending sekarang kita tidur. Kalo kita tidur pagi hari akan cepet datang dan Gue bisa segera ngomong ke Bapak. Semoga Bapak gak keberatan kalo kita ngundurin diri,”

“Semoga Dang,”

Ketika keduanya bersiap-siap untuk tidur tiba-tiba saja pintu kamar mereka dibuka dari luar.

“Eh, pintu belon dikunci ya Dang?” tanya Yusuf.

Sebelum Dadang sempat menjawab dari balik pintu muncullah Andre menggenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Kedua lengannya terentang ke kiri dan kanan memegang kusen pintu. Bulu ketiaknya yang halus namun lebat terlihat jelas menghiasi ketiaknya yang putih.

“Eh, Mas Andre. Ada yang bisa kami bantu Mas?” tanya Dadang sigap. Ia langsung bangkit dari tidurnya begitu juga Yusuf.

“Gue tadi dengar pembicaraan Mas Dadang dan Mas Yusuf,” sahut Andre.

“Pembicaraan yang mana Mas?” tanya Dadang pura-pura gak mengerti maksud kalimat Andre itu.

“Pembicaraan tentang mama tau kalo kalian berdua kentot-kentotan dengan papa,” sahut Andre kalem. Matanya menatap tajam mata kedua ajudan itu berganti-ganti.

Dadang dan Yusuf serta-merta langsung terpaku mendengar kata-kata Andre. Mereka berdua terdiam dalam kebingungan.

***

Dion melanjutkan kisahnya setelah selesai makan malam.

“Setelah lulus kuliah Mbak Sonya mengajukan lamaran untuk bekerja sebagai sekretaris di Hotel yang dikelola oleh Om Gunawan. Ternyata perusahaan sudah memiliki seorang sekretaris senior yang sudah lama bekerja karena itu lamaran Mbak Sonya sebagai sekretaris ditolak. Namun Mbak Sonya gak menyerah karena ingat pesan kedua orang tua kami untuk bisa membalas dendam pada keluarga Thomas Handoyo. Meski sudah menerima surat penolakan atas lamarannya itu Mbak Sonya nekat tetap datang ke perusahaan dengan maksud untuk menemui pimpinan perusahaan siapapun orangnya.” Kata Dion mengawali kisahnya kembali.

“Ya saya ingat saat Sonya datang ke kantor. Dengan nekat gadis itu meminta untuk bertemu dengan saya,” sahut Papa Calvin sambil tersenyum. Ia jadi teringat saat kedatangan Sonya itu ke kantornya. “Tapi kenapa Sonya melamar kerja di perusahaan saya Yon? Kalau memang ingin membalas dendam pada keluarga Thomas Handoyo kenapa Sonya tidak melamar ke perusahaan milik mertua saya yang saat itu dikelola oleh Koh Hendra Tandanu?” tanya Papa Calvin.

“Pertanyaan yang bagus Om,” sahut Dion. “Sebelum Mbak Sonya mengajukan lamaran kami sudah mengumpulkan informasi terlebih dahulu tentang anak-anak Thomas Handoyo khususnya Tante Rina istri Om yang merupakan target utama kami mengingat Tante Rinalah yang kami anggap sebagai biang penderitaan papa kami. Dari informasi yang kami kumpulkan kami mengetahui kalo Om Gunawan adalah suami Tante Rina. Nah, karena Om Gunawan adalah suami Tante Rina maka Mbak Sonya berencana untuk menaklukkan Om hingga bisa memorotin harta keluarga Om dan Tante Rina,”

“Hmmm…, lalu gimana caranya kalian mengumpulkan informasi tentang istri saya?” tanya Papa Calvin.

“Tentu saja melalui dunia prostitusi Om,” sahut Dion sambil tersenyum nakal pada Papa Calvin.

“Kapan?”

“Udah lama banget Om,”

“Jadi sebelum kamu dan Desi datang ke rumah waktu itu kamu udah kenal dan pernah ngentot dengan istri saya?”

“Kenal tentu aja enggak Om, namun saya tahu tentang Tante Rina karena saya ngumpulin informasi tentangnya. Kalo soal ketemu langsung ya waktu datang berdua dengan Desi ke rumah Om waktu itu,”

“Maksud kamu gimana sih?” tanya Papa Calvin penasaran.

“Om ingat dengan Ricky?”

“Ricky siapa?”

“Itu lho Om, salah seorang cowok yang ikut dalam acara pesta ulang tahun Om,”

“Oh itu. Kenapa dia?”

“Pesta ulang tahun? Kok Gua gak Elu ajak Gun. Sialan Lu!” sela Om Hendra memaki.

“Gak usah dibahas dulu deh Koh. Entar aja ngebahasnya. Kenapa si Ricky itu?” tanya Papa Calvin pada Dion, penasaran.

“Ricky itu pernah jadi gigolonya Tante Rina. Melalui dialah saya mengumpulkan informasi tentang Tante Rina dan keluarganya,” sahut Dion.

“Astaga! Jadi itu Ricky sang gigolo maniak sex yang dulu sering dipake istri saya?”

“Lho? Emangnya selama ini Om tau kalo Tante sering make si Ricky?”

“Tentu saja tau. Tapi saya cuman tau namanya doang. Istri saya suka cerita tentang kehebatan kentotannya si Ricky itu. Tapi sebelum acara pesta ulang tahun kemarin saya gak pernah ketemu sama dia,”

“Om gak marah mengetahui tentang itu?”

“Untuk apa marah? Kami tidak pernah merahasiakan dan meributkan urusan seperti itu Yon. Kami berdua emang sama-sama suka cari pasangan lain untuk variasi sex. Yang saya rahasiakan dari istri saya hanya tentang ngentot dengan sesama laki-laki doang,” sahut Papa Calvin.

“Betul Yon. Hal seperti itu sangat biasa di keluarga kami,” sahut Om Hendra. “Saya juga tahu kalo istri saya doyan make gigolo dan istri saya juga tahu kalo saya doyan make perek. Tapi tentu saja yang high class bukan yang pinggir jalan, hahahaha,” tambah Om Hendra sambil tertawa tergelak-gelak.

Antonius hanya geleng-geleng kepala mendengarkan penjelasan Papa Calvin dan Om Hendra itu.

“Ricky itu adik kamu juga Yon?” tanya Papa Calvin.

“Bukan,”

“Trus dimana kamu kenal Ricky?” tanya Om Hendra.

“Ricky itu anaknya Om Rezky Aditya!” sahut Dion.

“Rezky Aditya yang teman satu sel papa kamu itu?” tanya Papa Calvin.

“Iya Om,”

“Gimana ceritanya kamu bisa kenal Ricky dan tahu kalo dia itu anaknya Rezky?”

“Papa rupanya berpesan pada mama kalo suatu saat papa meninggal dan mama membutuhkan pertolongan karena diganggu orang agar menghubungi temannya di penjara dulu yaitu Om Hotman dan Om Rezky. Ternyata saat mama masih hidup mama tidak pernah menghubungi mereka karena mama merasa masih bisa mengurus semuanya sendiri. Ketika mama merasa umurnya sudah tidak lama lagi, mama melanjutkan pesan papa itu pada kami anak-anaknya,” sahut Dion sambil menatap dinding ruang interogasi. Perlahan-lahan bayangan masa lalunya muncul di depan matanya ibarat film yang sedang ditayangkan di layar bioskop.

***

Suatu hari ketika Dion duduk di kelas dua SMA.

Waktu itu sore hari di sekolah Dion. Sekolah sudah sepi. Murid-murid sekolah itu sudah pulang ke rumah masing-masing, kecuali Dion. Cowok itu sengaja belum pulang karena menunggu malam. Ia ada temu janji malam ini dengan seorang klien yang akan mem-booking-nya. Menunggu malam, Dion duduk-duduk sambil membaca buku pelajarannya di kantin milik penjaga sekolah yang tinggal di kompleks sekolah itu.

Penjaga sekolah sekaligus pemilik kantin tak pernah bertanya pada Dion mengapa cowok itu sering duduk-duduk di kantin sepulang sekolah bukannya langsung pulang ke rumah. Ia tak peduli dengan urusan Dion yang penting Dion selalu membeli makanan dan minumannya yang dijualnya di kantin itu sambil duduk-duduk membaca buku.

Ketika azan maghrib terdengar nyaring dari pengeras suara mesjid di sebelah sekolahnya, Dion segera menuju kamar mandi sekolahnya untuk bertukar pakaian. Ia memang belum bertukar pakaian sejak pulang sekolah tadi. Dion bertukar pakaian di ruang kamar mandi sekolahnya yang kosong. Ia tidak masuk kedalam ruang wc untuk berganti pakaian karena seperti biasanya jam segini sudah tidak ada lagi orang yang masuk ke kamar mandi. Namun ternyata hari itu rupanya tak seperti hari biasanya.

Dion melepaskan seluruh pakaian seragamnya termasuk celana dalamnya yang sudah bau karena dipakai seharian. Setelah itu Dion mengambil tissue basah non alkohol yang harum dari dalam tasnya. Dengan tissue basah itu Dion mengelap tubuhnya yang ramping atletis untuk menghilangkan bau apek karena keringat yang telah mengering. Di bagian-bagian tertentu ia mengelapnya lebih intens yaitu ketiak, dada, kontol dan buah zakar, serta belahan lobang pantatnya. Dion memang selalu menjaga kebersihan dan keharuman tubuhnya agar klien-nya senantiasa puas.

Saat Dion sedang serius mengelap belahan pantatnya tiba-tiba pintu kamar mandi yang tak dikuncinya itu terbuka. Dion yang sedang serius tak menyadari ketika ada orang lain masuk kedalam kamar mandi itu.

“Lagi asik Yon?” sapa orang yang baru masuk itu dengan suara berat.

“Eh, Pak Glen,” kata Dion terkejut. Ia langsung menghentikan kegiatannya mengelap belahan pantatnya dan menutupi kontolnya dengan kedua telapak tangannya.

Orang yang baru masuk itu adalah Glen Fredly Marantika, guru kesenian di kelas Dion. Sang guru turunan Ambon itu menatap Dion dengan tatapan tajam.

“Kenapa dihentikan ngelap pantatnya Yon?’ tanya Pak Glen sambil berjalan mendekati Dion dengan langkah yang gemulai. Ya, Pak Glen ini memang banci yang sangat gemulai bak perempuan. Di kelas ia terkenal sebagai guru yang kecentilan pada murid-murid cowoknya yang cakep, termasuk Dion.

Jantung Dion berdegup kencang. Ia tak menyangka akan berada dalam situasi seperti ini, hanya berdua saja dalam ruang tertutup dalam keadaan telanjang bulat dengan guru banci yang tak disukainya. Dion memang sangat jijik melihat gurunya itu karena tak punya malu untuk bersikap kecentilan pada murid-muridnya cowoknya yang cakep.

“Bapak mau ngapain?” tanya Dion antara geram dan was-was melihat gurunya yang berjalan mendekatinya.

“Aku pingin ngelihat tubuh telanjang kamu yang ramping dan atletis itu lebih dekat Yon,” sahut Pak Glen santai.

Kini Dion dan Pak Glen berdiri berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Guru banci itu menatap seluruh tubuh Dion dengan tatapan penuh nafsu yang dalam pandangan Dion sangat menjijikkan.

“Kontol kamu besar sekali Yon. Aku suka melihat remaja ganteng bertubuh atletis seperti kamu memiliki kontol besar kayak gini,” kata Pak Glen sambil menarik kedua tangan Dion agar tak menutupi batang kontolnya.

“Jangan Pak,” kata Dion kesal.

“Ngapain sih malu-mau Yon? Kita kan sama-sama laki,” kata Pak Glen dengan kenesnya. Dengan sengaja guru banci itu menjilat bibirnya yang tebal dengan lidahnya menunjukkan bahwa dia sangat berselera melihat tubuh telanjang Dion.

Mendengar kata-kata dan sikap mesum Pak Glen, ingin sekali rasanya Dion menghajar gurunya itu. Namun entah kenapa ia tak berani melakukannya. Sekuat tenaga Dion menahan kedua tangannya yang ditarik oleh gurunya itu agar tetap menutupi batang kontolnya.

“Tak usah munafik Yon. Lepaskan saja tanganmu! Aku tahu kamu itu lonte lanang. Pemuas nafsu laki-laki tua bangka yang bersedia membayar kamu,” kata Pak Glen sinis.

Dion kaget mendengar kata-kata gurunya itu.

“Aku sudah lama mengamati tindak-tanduk kamu. Setiap minggu paling tidak dua atau tiga kali kamu selalu pulang malam dari sekolah menunggu jemputan om-om senang yang menunggu di depan sekolah ini dengan mobil mewahnya. Kamu sangat tak bermoral Yon. Kamu mempermalukan nama baik sekolah ini!” tambah Pak Glen.

Wajah Dion pucat pasi mendengar apa yang dikatakan gurunya itu. Ia menatap wajah gurunya yang bergigi tonggos itu dengan ketakutan.

“Aku akan melaporkan perbuatanmu selama ini pada kepala sekolah dan tentu saja kami tak lupa akan mengundang pers ke sekolah ini untuk memberitakan kebejatan kamu pada publik!” kata Pak Glen mengancam.

“Ja …, jangan Pak. Jangan lakukan itu Pak,” kata Dion ketakutan. Suaranya bergetar.

“Kenapa jangan Yon? Nanti kamukan jadi terkenal? Kisah kamu ini akan menjadi berita terheboh abad ini Yon. Kamu bisa membacanya di koran atau menontonnya di televisi dalam penjara kelak!”

“Tolong saya Pak. Tolong saya. Jangan lakukan itu Pak,” kata Dion. Air mata Dion berlinang dipipinya tanpa bisa ditahannya. Dion benar-benar sangat ketakutan dengan ancaman gurunya itu.

“Kamu minta saya untuk tidak melakukan itu?”

“I …, iya Pak. Saya mohon Pak,”

“Saya tidak bisa Yon. Saya guru. Tidak mungkin saya membiarkan kelakuan murid bejat seperti kamu. Itu melanggar kode etik guru,” kata Pak Glen pura-pura menolak, padahal dalam hatinya ia bersorak karena Dion telah berhasil ditaklukkannya.

“Saya mohon Pak. Saya mohon …,” kata Dion lirih. Dion mengelap air matanya dengan telapak tangannya dan tak menghiraukan lagi batang kontolnya dapat terlihat jelas oleh mata guru bancinya itu.

“Hmmm…, baiklah. Saya kasihan sama kamu. Saya tidak akan melaporkan kamu kepada siapapun asal kamu mau melakukan apa yang saya minta,”

“Terima kasih Pak. Apapun yang Bapak minta akan saya lakukan,” sahut Dion.

“Oke ganteng. Kalo gitu sekarang kamu pakai baju kamu dan ikut saya ke rumah!” perintah Pak Glen.

Dion segera melaksanakan perintah gurunya itu. Ia menggenakan pakaiannya dan setelah itu mengikuti Pak Glen ke rumahnya. Dengan mobil milik Pak Glen yang dikemudikan oleh guru banci itu mereka berdua berangkat menuju rumah sang guru di daerah Jakarta Utara. Gara-gara ikut dengan Pak Glen, Dion akhirnya membuat kecewa klien­-nya yang sudah menunggunya lama di depan sekolah.

Pak Glen tinggal sendiri di rumahnya yang cukup besar–berbentuk ruko–berlantai dua. Lantai satu rumahnya digunakan sebagai garasi mobil sekaligus tempat berbagai peralatan fotografi dan studio untuk mencetak foto. Pak Glen rupanya hobi fotografi, pikir Dion. Tempat tinggal Pak Glen terletak di lantai dua. Meski tanpa sekat-sekat atau dinding-dinding pemisah ruangan semua barang di lantai dua tertata rapi. Pak Glen yang hidup sendiri merasa tak perlu untuk membuat ruang tamu, ruang dapur, ruang tidur, ataupun ruang mandi secara khusus.

Di tengah-tengah ruangan ada seperangkat sofa dengan sebuah televisi besar berukuran 54 inchi plus home theater di depannya. Selain hobi fotografi Pak Glen juga hobi nonton. Di sudut ruangan ada sebuah tempat tidur besar dilapisi bed cover warna pink. Di sudut lain digunakan sebagai dapur lengkap dengan peralatan masaknya. Lalu di sudut lain ada ruang mandi yang dilengkapi bath tub, closed duduk, dan shower.

Di dinding rumah Pak Glen dipajang foto-foto pria bule atau asia berwajah cakep tanpa busana alias full naked memamerkan wajah tampan, tubuh kekar, dan batang kontol besar mereka dalam pose-pose sensual. Diantara foto-foto itu ada juga foto-foto beberapa siswa di sekolah Dion—tentu saja yang cakep-cakep–dalam momen-momen kegiatan olah raga. Momen-momen yang dipilih untuk dipajang di dinding itu tentu saja yang menampilkan lekuk-lekuk indah tubuh sang siswa.

Dion mendapati ada juga foto dirinya, topless dengan tubuh bersimbah keringat saat mengangkat kedua lengannya yang kekar memamerkan bulu-bulu lebat di ketiaknya yang basah. Dion ingat itu adalah momen saat ia dan teman-temannya kegirangan menerima piala kemenangan mereka dalam kompetisi sepakbola antar SMA se-Jakarta. Dion tak menyangka momen itu bisa diabadikan dengan indah dan terlihat sangat sensual oleh kamera Pak Glen.

“Banyak sekali foto-foto teman-teman disini Pak,” kata Dion pada gurunya itu memcahkan keheningan yang ada sejak mereka tiba di lantai dua rumah Pak Glen.

“Ya, termasuk kamu jugakan. Saya emang suka mengabadikan momen-momen indah siswa-siswa cakep bertubuh oke seperti kalian,” sahut Pak Glen santai. Guru banci itu duduk di sofa menyilangkan kakinya dengan gaya centil bak wanita.

“Gimana Bapak bisa mengabadikannya jadi sangat bagus seperti ini?” tanya Dion penasaran.

“Saya guru kesenian yang hobi fotografi, Yon. Kamu liatkan peralatan foto dan studio saya sangat lengkap di lantai satu tadi. Saya menggunakan kamera foto yang canggih untuk bisa mengabadikan momen-momen indah seperti itu. O ya sebentar, saya akan tunjukkan koleksi saya yang tak saya pajang di dinding namun saya kumpulkan dalam album khusus,” kata Pak Glen. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju sebuah lemari berisi buku-buku dan album-album foto. Kemudian guru itu mengambil lima buah album dari lemari lalu kembali duduk di sofa dan meletakkan tmpukan album itu di atas meja tamu. “Silakan diliat koleksi saya Yon,” kata Pak Glen dengan senyum kenes.

Dion kemudian duduk di sofa dan mengambil sebuah album yang terletak paling atas tumpukan. Di kover album itu tertulis nama dua orang teman sekolahnya dengan huruf-huruf kapital: GEMAYEL DAN FRITZ. Lembaran pertama album itu menampilkan foto seluruh tubuh berpakaian sekolah lengkap kedua teman sekolahnya itu. Gemayel yang turunan Arab dan Fritz yang punya darah campuran Jerman dan Jawa itu sama-sama memiliki wajah tampan dan tubuh tinggi ramping atletis terlihat berpose santai dengan senyum mengembang di bibir mereka. Latar belakang foto itu jelas menunjukkan bahwa pemotretan dilakukan di lantai dua rumah Pak Glen ini.

Dion melanjutkan membuka lembar demi lembar album foto itu. Pandangan Dion yang semula santai mengamati album foto itu lalu berubah menjadi tatapan kaget saat melihat pose foto kedua teman sekolahnya itu yang awalnya normal-normal saja berubah jadi pose-pose yang sangat porno. Lembar demi lembar album itu menunjukkan sebuah aktivitas sex yang dimulai dari saling membuka baju masing-masing, dilanjutkan dengan berciuman, lalu saling menjilat tubuh bergantian, oral kontol bergantian, jilat lobang pantat, hingga saling kentot lobang pantat bergantian diakhiri dengan masing-masing bermasturbasi hingga sperma mereka muncrat.

Dion kaget melihat keberanian kedua teman sekolahnya berpose porno seperti itu. Ia tak menyangka kedua temannya yang diketahuinya sehari-hari sangat straigth itu mau di foto dengan melakukan aktifitas sex sesama jenis seperti itu.

“Bapak memaksa mereka melakukan ini?” tanya Dion geram. Ia menutup album itu dengan kasar dan menatap wajah gurunya dengan tatapan meradang.

“Saya tak memaksa mereka. Saya hanya meminta mereka melakukan itu dan mereka mau melakukannya. Eh, kamu liat album yang lain deh. Ini ada koleksi foto yang paling oke. Ketua OSIS kamu si Lukas dengan kapten kesebelasan sekolah si Hendy dan ketua paskibra sekolah si Gading, threesome. Liat deh, seru banget lho,” kata Pak Glen tetap santai—tak mengacuhkan tatapan marah Dion–sambil mengambil sebuah album dan membuka halaman tepat saat ketiga teman Dion yang ganteng-ganteng itu sedang di foto saat memacu birahi bertiga di atas ranjang milik Pak Glen di lantai dua rumah ini.

Dion membuang mukanya. Ia merasa jijik melihat foto-foto itu dan muak menyadari tingkah laku gurunya yang ternyata lebih sangat tak bermoral dibandingkan dirinya.

“Apa kesalahan mereka sehingga Bapak harus memaksa mereka melakukan semua itu?”

“Sekali lagi saya katakan Yon, saya tak pernah memaksa mereka lho. Kesalahan mereka? Hmmm…, itu rahasia saya dengan mereka kamu tak perlu tahu. Sama seperti rahasia kamu juga, mereka tak perlu tahukan?” tanya Pak Glen sambil mengedipkan sebelah matanya ke Dion.

“Bapak akan meminta saya untuk mau di foto seperti itu juga?” tanya Dion makin geram. Ia menatap tajam wajah guru bancinya yang sangat jelek itu.

“Rencana saya sih begitu,” sahut Pak Glen sambil menyalakan sebatang rokok dan mulai menghisap rokoknya itu dengan gaya yang banci banget.

“Lalu setelah itu foto-foto itu akan Bapak jual hingga Bapak bisa kaya-raya seperti inikan? Mana mungkin gaji guru yang pas-pasan bisa membuay Bapak kaya-raya.”

“Kamu terlalu sarkas Yon. Tapi tak apa-apa saya suka dengan gaya sarkas kamu itu, hehehe. Kamu benar, fotonya memang saya jual. Tapi bukan untuk konsumsi dalam negeri. Saya menjualnya untuk konsumsi luar negeri. Mahal lho harganya. Kalau dijual di dalam negeri, sulit dan repot. Lagian juga duitnya gak seberapa mana nanti saya bisa ditangkap polisi lagi.” Sahut Pak Glen sambil menghembuskan asap rokoknya.

Dion terdiam untuk beberapa saat sambil berpikir apa yang harus dilakukannya. Pak Glen juga diam. Ia menatap Dion dengan santai sambil terus merokok.

“Baiklah supaya urusan kita cepat selesai dan saya tak akan melihat wajah Bapak lagi, kapan kita akan melakukan pemotretannya?” kata Dion kemudian.

“Semangat banget ih kamu Yon. Sabar-sabar. Saya kasih kamu dua pilihan, mau ngentot berdua atau threesome? Soalnya saya punya dua stock nih,”

“Siapa aja mereka Pak?” tanya Dion.

“Rahasia dong. Kalo kamu tahu entar kamu bisa milih yang mana kamu suka, hehehe,”

“Langsung threesome aja kalo gitu Pak. Sekalian dua teman yang bernasib sama seperti saya juga segera beres urusannya dengan Bapak,”

“Hehehehe. Alasan aja deh kamu Yon. Padahal kamu pingin ngembat dua-duanya sekaliguskan? Oke deh kalo gitu. Saya telepon mereka supaya datang kemari,” kata Pak Glen.

Tiga puluh menit kemudian berturut-turut datanglah Wibi—alias Wibisono, siswa kelas tiga jagoan renang yang telah mengharumkan nama sekolah mereka berkali-kali baik di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional. Setelah itu datanglah Reinhard, siswa kelas dua jagoan basket yang tak lain dan tak bukan adalah teman sebangku Dion.

“Kalian bertiga pasti sudah saling kenal. Apalagi kamu berdua,” tunjuk Pak Glen pada Dion dan Reinhard. “Saya rasa tak usah pake kata pengantar lagi, kalian sudah tahu harus ngapain makanya malam ini saya kumpulkan disini. Seperti yang pernah saya katakan, dosa-dosa kalian akan tersimpan rapi dan tak ada orang lain yang perlu tahu sepanjang kalian mau melakukan apa yang saya minta.” Kata Pak Glen dengan kenesnya.

Setelah itu Pak Glen menyuruh ketiga cowok abege yang ganteng-ganteng dan jantan-jantan itu memilih ukuran pakaian seragam sekolah yang sesuai dengan ukuran tubuh mereka di dalam lemari pakaian guru itu. Rupanya Pak Glen memiliki koleksi baju seragam sekolah untuk dikenakan oleh ‘model-modelnya’. Setelah ketiganya selesai memilih pakaian dan menggenakannya, pemotretan pun dimulai.

Sesi pertama adalah foto berpakain seragam dengan ekspresi riang. Selesai sesi pertama dilanjutkan dengan sesi kedua yaitu foto membuka baju. Selesai sesi foto membuka baju dilanjutkan lagi sesi foto sensual. Ketiga cowok itu disuruh berpose sensual dalam keadaan bugil. Terlihat sekali ketiganya agak jengah namun terpaksa bersikap sewajar mungkin. Meski Dion suka ngesex dengan sejenis namun tetap saja ia jengah melakukan pemotretan sensual seperti itu.

Usai sesi foto sensual ketiganya diajak Pak Glen untuk beristirahat sejenak sambil makan malam. Pak Glen sudah memesan ayam goreng delivery untuk santapan makan malam mereka. Ketiga modelnya dilarang memakan yang pedas-pedas agar tak menimbulkan masalah saat sesi foto oral dan jilat-jilatan nanti.

Setelah kenyang pemotretan dilanjutkan dengan sesi foto porno. Mulailah ketiga cowok itu disuruh Pak Glen untuk saling menjilat tubuh, ketiak, lobang pantat dan apa saja yang bisa dijilat satu sama lain termasuk kulum-kuluman batang kontol. Selesai sesi foto itu ketiganya akan bersiap-siap untuk sesi foto ngentot berbagai gaya.

Sebelum sesi foto ngentot dimulai Pak Glen menyuruh ketiga cowok itu untuk melumasi lobang pantat mereka dengan gel pelumas sebanyak-banyaknya. Untuk melatih kelenturan lobang pantat ketiga cowok itu Pak Glen turun tangan langsung. Dengan menggunakan batang kontolnya yang hitam dengan ukuran yang tak terlalu besar, guru banci yang tak bermoral itu mencoblos keperjakaan cowok-cowok itu (tentu saja tak termasuk Dion) untuk pertama kalinya. Wibi dan Reinhard yang asli perjaka ting-ting terlihat sangat kesakitan saat pertama kali lobang pantat mereka dicoblos oleh batang kontol Pak Glen.

Sekuat tenaga menahan rasa sakit, Wibi dan Reinhard hanya bisa pasrah disodomi oleh guru mereka bergantian. Erangan kesakitan dari mulut Wibi dan Reinhard malah semakin menambah tinggi libido bejat sang guru. Saat latihan kelenturan lobang pantat itulah Wibi dan Reinhard mengetahui kalo Dion sudah tak perjaka lagi dan lobang pantat Dion sudah sangat terlatih menerima sodokan-sodokan kontol. Lobang pantat Dionlah yang akhirnya membuat Pak Glen menyerah dan tak sanggup menahan orgasmenya.

“Ih, Yon. Lobang pantat kamu enak banget. Kamu pinter banget bikin saya keenakan. Udah berapa banyak sih kontol yang kamu bikin enak didalam situ Yon?” tanya Pak Glen kenes usai menumpahkan spermanya didalam rongga lobang pantat Dion.

“Udah deh Pak, gak usah banyak tanya,” sahut Dion.

“Lo gay ya Yon?” tanya Reinhard pada teman sebangkunya itu.

“Ya enggaklah. Kebetulan aja Gue lebih dulu pernah ngalamin main-main kayak gini dengan cowok dibandingkan Elo berdua,” kilah Dion.

Reinhard tak bertanya lagi.

Setelah itu sesi foto ngentot berbagai gaya dimulai. Ketiganya berganti-gantian untuk menganal dan juga dianal. Wibi dan Reinhard seolah-olah lupa kalau mereka adalah dua cowok straight. Bertiga dengan Dion mereka mengentot dan dikentot dengan ekspresi buas dan jantan. Seolah-olah tak akan puas hampir satu setengah jam mereka bertukar-tukar merasakan nikmatnya menyodomi lobang pantat. Pak Glen tak perlu lagi mengarahkan mereka karena tiga cowok abege itu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Pak Glen pun sibuk memotret aksi buas mereka dengan kamera canggihnya sambil berbicara kotor menyemangati ketiga abege itu.

Setelah ketiganya orgasme pemotretan pun selesai. Ketiganya terjerembab dalam lelah di atas ranjang Pak Glen dengan tubuh bersimbah keringat. Setelah beristirahat sekitar setengah jam dan merasa stamina mereka telah kembali pulih tiga cowok abege itu pamit pulang. Pak Glen ternyata baik juga, ia memberikan ketiga cowok itu uang masing-masing lima ratus ribu rupiah. Jumlah uang yang cukup besar saat itu. “Untuk ongkos dan jajan,” kata Pak Glen kenes pada ketiganya. Pak Glen tak lupa juga berpesan agar ketiganya menyimpan rahasia agar dosa-dosa mereka bertiga juga menjadi rahasia Pak Glen.

Meskipun diberikan uang oleh Pak Glen, bukan berarti hilang sudah kebencian Dion pada gurunya itu. Dion menyusun rencana untuk membuat kapok guru bejat itu. Untuk merealisasikan rencananya Dion lalu mencari Om Hotman dan Om Rezky. Dion merasa saat inilah ia perlu meminta pertolongan dua teman papanya saat di penjara dulu.

Bermodal alamat yang ditinggalkan sang mama, mula-mula Dion mencari Om Hotman di daerah Jakarta Timur. Namun ternyata, Om Hotman sudah pindah ke Medan dan tetangganya yang ditemui Dion tak mengetahui alamatnya disana. Karena tak menemukan Om Hotman lalu Dion mencari Om Rezky di daerah Depok.

Syukurlah Om Rezky ternyata masih tinggal disana. Om Rezky mengontrak sebuah rumah besar yang diberinya sekat-sekat hingga memiliki lima belas kamar berukuran kecil. Di rumah yang dikontraknya itu ia tinggal bersama dengan beberapa anak muda perantauan yang masih bersekolah atau kuliah. Tetangga di sekitar rumah Om Rezky mengira anak-anak muda itu hanya ngekos di rumah kontrakan Om Rezky karena berasal dari luar daerah. Mereka tak pernah tahu kalau ternyata anak-anak muda yang ganteng-ganteng dan rajin sekolah atau kuliah di pagi hari itu adalah gigolo alias lonte lanang di malam hari. Dari penghasilan mereka sebagai gigolo mereka membiayai hidup dan sekolah plus uang setoran kepada Om Rezky, germo mereka. Rupanya Om Rezky yang dulunya gigolo setelah bebas dari penjara mengembangkan sayapnya menjadi germo.

Mulanya Om Rezky tak memberitahukan profesinya itu pada Dion. Ia mengaku mennyewakan kamar-kamar di rumah itu per bulan untuk membiayai hidupnya. Namun setelah Dion menyampaikan maksudnya untuk meminta pertolongan pada Om Rezky dan secara jujur mengakui profesinya sebagai lonte lanang untuk membiayai hidup, akhirnya Om Rezky juga menceritakan secara jujur profesinya pada Dion.

“Om akan membereskan guru kamu itu Yon. Kamu tenang saja Om akan buat guru kamu itu tak akan mengulangi lagi perbuatannya melecehkan dan mengeksploitasi anak-anak sekolah secara paksa seperti itu,” kata Om Rezky pada Dion.

“Terimakasih Om,” sahut Dion terharu.

“Sama-sama. Setelah papa kamu meninggal, anggaplah Om sebagai ganti papa kamu Yon. Kalau kamu ada kedulitan lagi, kamu bisa datang ke Om. Atau kalo kamu gak keberatan kamu bisa gabung dengan anak-anak asuhan Om. Kamu gak usah pusing mencari sendiri klien kamu, Om akan carikan untuk kamu. Klien Om semuanya oke-oke lho,” kata Om Rezky menawarkan.

Tawaran menarik itu langsung diterima oleh Dion. Ibarat model, kini Dion bergabung dengan Om Rezky Management, hehehe. Om Rezky lalu memenuhi janjinya membereskan Pak Glen. Entah bagaimana cara Om Rezky melakukannya, tiba-tiba saja terdengar kabar bahwa Pak Glen mati over dosis di atas ranjang pinknya. Ia ditemukan sudah membusuk lima hari setelahkematiannya. Tak ditemukan foto-foto siswa-siswa sekolah yang berpose sensual di dinding atau juga album-album siswa-siswa yang berpose porno di rumahnya. Segala peralatan fotografinya hilang. Pak Glen mati di ranjangnya dalam keadaan bugil dikelilingi foto-foto model bule dan asia yang masih terpajang dengan rapi di dinding rumahnya.

Untuk menghilangkan barang bukti seluruh foto-foto siswa itu dimusnahkan oleh Om Rezky. Pembunuhan yang dilakukan oleh Om Rezky sangat rapi sehingga polisi tak bisa mengendusnya. Sampai sekarang polisi tak bisa menyibak kasus pembunuhan guru bejat itu.

Setelah bergabung dengan Om Rezky, Dion mengenal seluruh lonte lanang, anak asuh Om Rezky. Ternyata diantara anak asuhnya itu ada anak kandung Om Rezky sendiri. Ricky namanya. Ricky Aditya demikian nama lengkap anak kandung Om Rezky itu adalah anak haram hasil ngentot Om Rezky dengan perempuan yang suaminya dibunuh oleh Om Rezky.

Perempuan itu mengira dirinya sudah manapouse dan tak pernah menyangka akan bisa hamil. Namun perkiraannya ternyata berbeda dengan kenyataan. Perempuan itu tetap hamil dan meski berkali-kali berusaha menggugurkan kandungannya dengan meminum bermacam ramuan tak berhasil juga. Untuk aborsi perempuan itu takut berisiko kematian karena usianya yang sudah memasuki kepala enam. Akhirnya bayi yang dikandungnya lahir juga dengan cara operasi caesar. Setelah anak itu lahir perempuan itu membawa bayinya ke penjara dan memaksa Om Rezky untuk menerima bayi itu karena perempuan itu tak mau mengurus dan membesarkan anak haramnya itu.

Meski kesal karena dititipi bayi, Om Rezky mau tak mau menerimanya juga. Bayi itu kemudian dititipkan di panti pengasuhan anak milik Departemen Sosial oleh penjara. Setelah Om Rezky bebas, anak itu kemudian diserahkan kembali pada Om Rezky.

Om Rezky membesarkan anaknya itu dalam dunia prostitusi yang tetap dilakoninya sekeluar dari penjara. Ia menamai putranya itu Ricky Aditya. Setelah Ricky Aditya menginjak usia remaja ia mengikuti jejak Om Rezky sebagai lonte lanang. Om Rezky tak menolak kemauan putra satu-satunya itu. Malahan ia membimbing Ricky menjadi lonte lanang kelas tinggi.

“Parah!” celetuk Om Hendra mendengar kisah Ricky yang diceritakan Dion.

“Kalo orang bisa memilih akan jadi apa dirinya kelak, semua orang pingin jadi orang baik, kaya-raya, dan tak punya masalah apapun, Om,” sahut Dion menanggapi celetukan Om Hendra. Ia kesal mendengar celetukan Om Hendra yang dirasakannya sinis itu.

“Udah Yon, apa yang dikatakan oleh Koh Hendra gak usah kamu ambil hati,” sela Papa Calvin yang menyadari kekesalan Dion. “Sekarang kamu cerita yang lebih fokus tentang apa yang kamu lakukan bersama-sama dengan saudara-saudaramu memasuki kehidupan keluarga kami, termasuk hubunganmu dengan Desi. Apakah benar kamu yang menghamili Desi dan dengan sengaja kemudian meninggalkannya?” tambah Papa Calvin.

“Saya tidak pernah sengaja meninggalkan Desi Om,” sahut Dion.

“Lalu kenapa kamu meninggalkannya?” tanya Papa Calvin penasaran.

“Tolong kamu segera jelaskan Yon, ceritamu sudah sangat panjang dan kuakui sangat menarik. Namun, semua cerita kamu itu belum ada yang mengarah pada hubunganmu dan Desi,” kata Antonius.

“Saya akan ceritakan hal itu sejelas-jelasnya,” sahut Dion.

“Kami siap mendengarkan,” kata Papa Calvin.

“Tapi …,” kata Dion menahan kalimatnya.

“Tapi apalagi Yon?” tanya Papa Calvin makin penasaran.

“Tapi saya hanya akan menceritakan itu semua apabila saya didampingi oleh pengacara saya!” sahut Dion tandas.

“Kurang ajar! Rupanya sejak tadi kamu sengaja mengulur-ulur waktu Yon!” maki Antonius.

“Terserah apa pendapat kalian,” sahut Dion.

Papa Calvin, Om Hendra, dan Antonius kesal sekali mendengarkan sahutan Dion itu. Ketiganya kemudian keluar dari ruangan interogasi meninggalkan Dion seorang diri.

“Gimana Mas Gun? Dion rupanya tetap keras hati,” kata Antonius.

“Dasar bangsat si Dion itu!” maki Om Hendra.

“Sudahlah Koh,” kata Papa Calvin pada Om Hendra. “Ton, menurut saya lebih baik kita mengalah saja. Aku berharap kamu bisa menjemput pengacara Dion malam ini dan kita akan buktikan apakah Dion bersedia bercerita bila pengacaranya hadir,” kata Papa Calvin.

“Baiklah Mas Gun. Aiptu Ali dan Aiptu Bayu kalian berdua saya perintahkan untuk menjemput dan membawa pengacara Dion malam ini kesini!” perintah Antonius tegas pada Ali dan Bayu.

“Siap!” sahut Ali dan Bayu dengan sikap sempurna dan kemudian berlalu meninggalkan Antonius, Papa Calvin, dan Om Hendra.

***

Andre duduk di atas kasur yang tadinya ditiduri oleh Yusuf.

“Hidup ini penuh kemunafikan ya Mas,” kata Andre memecahkan keheningan.

Kedua ajudan itu tak menjawab. Mereka berdua tetap diam.

“Ketika pertama kali Gue tahu kalo papa dan mama ternyata sama doyannya ngentot dengan ajudan mereka, Gue merasa benci sekali. Gue nganggap papa dan mama adalah orang-orang munafik. Di depan masyarakat mereka tampil bak dewa suci yang dihormati dan diagungkan, di belakang masyarakat ternyata mereka adalah budak dari nafsu mereka sendiri.

Namun Gue coba merenung dan membandingkan dengan diri Gue sendiri. Akhirnya Gue sampe pada kesimpulan bahwa Gue juga sama aja. Gue juga doyan ngentot dengan ajudan-ajudan ganteng di rumah ini. Bahkan Gue juga doyan ngentot dengan siapa aja mau cowok atau cewek, terserah. Yang penting enak. Gue ternyata juga munafik. Lalu untuk apa lagi Gue harus benci dengan mereka?”

Dadang dan Yusuf kaget mendengar keterbukaan Andre seperti itu.

“Lalu Mas berdua, apa bedanya Mas dengan kami? Mas berdua juga sama ajakan? Kalian berdua adalah laki-laki jantan dan udah bertunangan dengan cewek kalian namun doyan tapi kenapa masih ngentot juga dengan cewek lain bahkan cowok? Kalian rahasiakan hal itu dari tunangan kalian. Betulkan? Apa itu bukan munafiknya namanya?”

“Maksud Mas Andre apa?” tanya Yusuf.

“Karena kita emang sama-sama munafik, maka nikmatilah kemunafikan ini,” sahut Andre.

“Selama ini saya memang sudah menikmatinya Mas Andre. Hanya saja masalahnya kini adalah ibu tahu kalo Bapak doyan ngentot dengan laki-laki termasuk dengan kami,”

“Lalu kenapa kalo mama tahu?” tanya Andre. “Kenapa Mas Yusuf harus pusing?”

“Saya gak enak sama ibu. Beliau terlihat sangat tertekan sekali mengetahui hal itu tapi selama ini tak bisa berbuat apa-apa,” sahut Yusuf.

“Apa iya mama emang tertekan? Buktinya mama bisa hidup bersama bertahun-tahun dengan papa. Kalau emang mama tertekan, dari dulu mama pasti udah minta cerai. Tapi liat aja, mama gak pernah minta ceraikan? Malahan ia menikmati juga ajudan-ajudan papa yang ganteng dan jantan kayak Mas berdua ini,” sahut Andre.

“Bener juga apa yang dikatakan Mas Andre itu, Suf,” kata Dadang.

“Maksud Mas Andre, ibu berbohong pada saya?” tanya Yusuf.

“Entahlah Mas. Hanya mama dan Tuhan yang tahu apa yang ada dalam hatinya,”

“Lalu gimana Mas Andre? Saya gak enak karena tiap hari ketemu ibu. Kalo ibu ngomong soal itu lagi saya gak tahu harus bersikap kayak apa,” kata Yusuf.

“Diemin aja,”

“Kok Mas Andre cuek banget sih?” tanya Yusuf.

“Cuek gimana?”

“Ya cuek, kayaknya gak peduli gitu. Padahal inikan masalah orang tua Andre,” sahut Yusuf lagi.

“Mungkin karena Gue udah bosen dengan semua kemunafikan ini Mas,” sahut Andre.

“Maksud Mas Andre?” tanya Dadang.

“Mungkin apa yang selama ini Gue ketahui tentang papa dan mama udah saatnya dibuka terang-terangan. Bukan cuman disimpen doang. Kemaren baru dengan papa doang Gue buka-bukaan. Gue dan papa sama-sama tahu apa yang kami lakukan. Kayaknya sekarang udah saatnya papa, mama, dan Gue harus buka-bukaan sama-sama sehingga tak ada lagi kemunafikan di rumah ini. Biarlah kemunafikan hanya untuk masyarakat luar saja,” sahut Andre panjang lebar.

“Mas Andre nekat banget,” kata Yusuf.

“Apa Mas Andre sudah siap untuk itu?” tanya Dadang.

“Ya, Gue udah siap Mas. Ayo ikut Gue, Mas. Gue punya rencana,” kata Andre dan kemudian bangkit dari kasur tempatnya duduk tadi.

“Ikut kemana Mas?” tanya Yusuf.

“Rencana apa Mas?” tanya Dadang.

“Udah, gak usah banyak tanya. Ikut aja deh,” kata Andre.

Andre berjalan keluar dari kamar kedua ajudan itu. Dadang dan Yusuf mengikuti langkah Andre yang berjalan menuju kamar kedua orang tuanya. Begitu tiba di depan pintu kamar kedua orang tuanya itu Andre langsung memutar gerendel pintu dan membuka pintu kamar kedua orang tuanya itu lebar-lebar tanpa mengetuk pintu dan permisi terlebih dulu. Dadang dan Yusuf kaget dengan apa yang dilakukan oleh Andre.

Andre lalu masuk kedalam kamar diikuti oleh kedua ajudan yang melangkah masuk dengan takut-takut. Didalam kamar di atas tempat tidur kedua orang tuanya, Andre, Dadang, dan Yusuf menyaksikan papa dan mama Andre dalam keadaan telanjang bulat, sedang ngentot berdua penuh nafsu dalam posisi doggy style.

Soal ngentot dalam posisi seperti itu adalah hal yang biasa saja yang luar biasanya adalah bahwa yang dikentot bukan Mama Andre oleh Papa Andre namun sebaliknya Papa Andrelah yang sedang dikentot oleh Mama Andre. Sang mama mengentot sang papa menggunakan celana khusus berdildo besar dan panjang di selangkangannya. Sang mama menghujam-hujamkan dildo besar dan panjang itu dengan cepat dan buas ke lobang pantat sang papa yang terlihat menggeram-geram keenakan.

“Boleh gabung Pa? Ma?” tanya Andre kalem sambil mengedipkan matanya dan tersenyum penuh arti pada kedua orang tuanya itu.

Papa dan Mama Andre sontak menghentikan aksi ngentot mereka dan terdiam kaku dalam posisi doggy style seperti itu. Keduanya hanya bisa nyengir dengan ekspresi grogi karena tertangkap basah oleh putra semata wayang mereka dan kedua ajudan ganteng yang mulutnya menganga lebar, bengong kayak orang bego, melihat posisi ngentot majikan mereka yang tak lazim itu.

***

“Kok pulangnya malem banget Mas?” tanya Cinta menyambut kepulangan Yudha bersama-sama dengan Indra dan Asep. “Pulangnya kok bisa barengan sama Indra dan Asep gitu? Habis darimana sih?” tanya Cinta penuh selidik.

“Kan emang biasa pulang sama Asep,” sahut Yudha berkilah sambil senyum pada istri cantiknya itu. Indra dan Asep yang berjalan dibelakang Yudha masuk kedalam rumah juga senyam-senyum.

“Kalo sama Asep sih iya, kalo sama Indra kan gak pernah bareng kayaknya,” sahut Cinta lagi. “Darimana sih kalian?” tanya Cinta lagi karena ini pada Indra dan Asep.

“Dari kantor Mbak,” sahut Indra.

“Dari kantor apa dari ‘kantor’?” tanya Cinta lagi.

“Bener atuh Mbak, dari kantor,” sahut Asep dengan gaya lugunya.

“Ngapain di kantor sampe malem banget begini?” tanya Cinta.

“Banyak kerjaan sayang,” sahut Yudha dan kemudian menghempaskan tubuhnya di atas sofa.

“Udah deh, kalian gak usah bohong. Kalian ngapain aja bertiga di kantor? Ayo ngaku?” kata Cinta dan ikutan duduk di sofa disamping suaminya. Cinta menggelitikan perut suaminya memaksa untuk mengaku.

“Iya deh ngaku. Tadi kami ngentot di kantor,” sahut Yudha sambil mencium pipi istrinya lembut.

“Ngentot? Bertiga? Kenapa gak di rumah aja? Ngapain juga ngentot bertiga di kantor toh di rumah juga bisa,” kata Cinta.

“Siapa yang bilang cuman bertiga?” kata Yudha.

“Lho emang berapa orang? Dengan siapa aja?” tanya Cinta.

“Lima orang. Satu temennya Indra yang satu lagi si Eka, satpam di kantor,” sahut Yudha.

“Kok gak ngajak-ngajak sih?” tanya Cinta.

“Ya gak mungkin dong sayang. Ntar kapan-kapan mereka diundang kemari supaya kita bisa pesta sex disini,” kata Yudha.

Indra dan Asep cuman cengar-cengir doang mendengarkan pembicaraan Yudha dan Cinta.

“Janji ya Mas,” kata Cinta.

“Iya,”

“Ya udah deh. Pada mandi gih sana. Bersihin bener-bener kontol dan lobang pantat kalian. Pasti masih ada sisa-sisa sperma nempel disana,” kata Cinta.

“Kamu mandiin aku ya sayang,” kata Yudha dengan nada manja pada istrinya.

“Mau dimandiin? Entar mandinya bisa gak kelar-kelar dong sayang,” sahut Cinta juga dengan nada manja pada suaminya.

“Ya gak masalah,” sahut Yudha.

“Ya udah, kalo gitu sini Cinta mandiin,” sahut Cinta menarik tangan suaminya dan membawa suaminya ke kamar mandi yang ada di kamar tidur mereka.

Indra dan Asep yang ditinggal berdua memandangi tingkah laku Yudha dan Cinta dengan senyum lucu sambil geleng-geleng kepala.

***

Sony dan Silvia pulang ke rumah mereka dengan menumpang taksi karena mobil dibawa Doni pergi sejak tadi siang. Setiba di rumah, Sony dan Silvia melihat mobil ternyata sudah parkir depan rumah. Doni belum memasukkan mobil itu kedalam garasi rupanya.

“Doni gimana sih? Kok mobil belum dimasukin ke garasi?” kata Sony ngedumel.

“Namanya juga Mas Doni, Pa. Diakan orangnya selebor!” sahut Silvia. “Jangan-jangan dia ketiduran lagi. Lampu aja belum pada diidupin,” tambah Silvia sambil nyengir.

Buru-buru Sony menuju pintu rumah dan membukanya. Ruang tamu gelap karena lampunya belum dihidupkan, hanya ada pancaran cahaya remang-remang dari monitor televisi. Sony memandang ke monitor televisi dan melihat tayangan adegan porno dua laki-laki jantan yang sedang ngentot. Di depan televisi di atas sofa Sony melihat Doni telanjang bulat. Tubuh atletisnya berkilap karena pantulan cahaya dari monitor televisi ke tubuhnya yang bersimbah keringat. Taruna ganteng itu sedang menggenjotkan pantatnya naik turun sekuat tenaga. Doni asik menikmati batang kontol gemuk panjang yang keluar masuk lobang pantatnya milik seorang laki-laki jantan berambut cepak yang juga sama-sama bersimbah keringat dan sedang memangkunya.

Sony kaget. Naluri resersenya langsung muncul. Ia bermaksud akan menarik Silvia dan segera membawanya ke luar rumah, sebelum gadis itu melihat atau sadar apa yang terjadi. Namun ternyata Silvia sudah menekan saklar lampu ruang tamu yang terletak di samping pintu. Ruang tamu pun segera terang-benderang. Aksi ngentot Doni dan laki-laki yang sedang menyodominya pun jadi terlihat jelas. Sony dan Silvia sama-sama terperangah melihat pemandangan cabul di ruang tamu itu.

Sementara itu Doni dan laki-laki teman ngentotnya itu kaget luar biasa. Mereka berdua yang tadinya ngentot sambil merem-melek keenakan langsung melotot dengan wajah kebingungan pada Sony dan Silvia.

“Astaga! Doni! Christian! Apa yang kalian lakukan disini?!!” tanya Sony setengah berteriak saking kagetnya. Laki-laki yang sedang mengentoti Doni itu rupanya Christian.

Doni refleks melepaskan diri dari pangkuan Christian lalu berdiri disamping sofa berusaha menutupi kontolnya yang tegak dengan kedua telapak tangannya. Christian juga berusaha menutupi batang kontolnya yang sedang dalam kondisi keras sempurna dengan telapak tangannya. Rupanya saat Sony dan Silvia tiba, Christian sudah hampir orgasme. Akhirnya tanpa bisa ditahannya lagi spermanya menyembur dari lobang kencingnya membuat telapak tangannya yang menutupi kontolnya belepotan spermanya yang putih dan kental. Badan Christian bergetar, sambil mengerang-erang tertahan, menikmati orgasmenya. “Ohh…, ohhh…, ohhh…., ohh…,”

Silvia terduduk di lantai depan pintu rumahnya menyaksikan apa yang telah terjadi di ruang tamu itu. “Kalian semua bener-bener setan!” maki Silvia dengan suara bergumam. Gadis cantik itu kemudian terjerembab ke lantai, pingsan.

SERIAL ANDRE DAN CALVIN 38 : Tak Terduga. There are any SERIAL ANDRE DAN CALVIN 38 : Tak Terduga in here.