Dunia Esensi

“Lihat nih, bini aku sexy kan?” kataku bangga. Rendy melotot dan berdecak kagum, “Ck..ck…sexy sekali ya?”
“Yuli (nama istri Rendy) pernah direkam gini?” tanyaku tetap dengan nada bangga.
“Belum,” Rendy menggeleng, “Tapi mau ah…nanti malam aku mau ML sama dia, sekalian direkam diam-diam.”
“Sip! Nanti lihatin ke aku ya,” kataku bersemangat, “sekalian aku juga nanti malam mau ML sama istriku, sambil direkam juga.”
“Terus besok hasilnya tukaran ya, punya kamu lihatin ke aku, punya aku lihatin ke kamu,” usul Rendy yang langsung kusetujui.
Malamnya, aku benar-benar ML dengan Reny, istriku. Dia tidak tahu bahwa aku merekamnya di hpku yang sudah kuatur letaknya sebelum mengajaknya ML.
Besoknya, aku dan sahabatku menepati janji. Kuserahkan hpku untuk ditonton oleh Rendy, sementara aku menikmati hasil rekaman sahabatku itu. Kami sama-sama terangsang oleh tontonan yang sangat pribadi sifatnya itu. Bahkan Rendy sempat terlongong setelah mengembalikan hpku, seperti ada yang dipikirkan olehnya.

“Jan…kalau kita swinger gimana? Jujur, aku belum pernah merasakan swinger,” kata Rendy tiba-tiba.
Aku terkejut. Tak pernah kupikir sebelumnya akan melakukan seperti yang Rendy usulkan itu.
“Kamu jangan tersinggung, Jan,” Rendy menepuk bahuku, “Ini cuma usul…kalau kamu nggak keberatan, aku juga gak maksa. Yang jelas, kamu bisa nyobain Yuli, aku nyobain Reny. Adil kan?”
Aku terbengong-bengong. Terus terang, usul Rendy mengejutkan sekaligus membuatku bergairah. Kubayangkan istriku sedang disetubuhi oleh sahabatku itu, sementara aku menyetubuhi istrinya. Baru diobrolkan saja penisku sudah ngacung, apalagi kalau benar-benar dilaksanakan. Maka setelah berpikir agak lama, kujawab, “Usul edan tapi menggiurkan. Cuman…gimana cara meyakinkan istriku ya? Kalau dia gak mau kan susah. Istrimu sendiri gimana?”
“Soal istriku, serahkan padaku. Kamu urus Reny saja, atur supaya mau,” kata Rendy.
“Reny sangat konservatif, kamu juga tahu itu kan?”
“Reny yang konservatif apa kamu sendiri yang tidak mau swinger?” Rendy menepuk bahuku sambil menertawakanku.
“Aku mau…mau…tapi bagaimana cara meyakinkan Reny ya?”
“Begini aja,” kata Rendy di tengah kebingunganku, “kita jebak mereka ke dalam situasi yang mau tidak mau harus mereka terima.”
“Maksudmu?”
“Aku kan punya villa keluarga di Cipanas. Kita ajak mereka week end di sana.”
“Yayaya…jebakannya di sebelah mananya?”
“Kita bawa Martini atau Tequila…minum rame2, kita pada minum di sana. Setelah mereka rada kleyengan, kita matiin lampu sampai gelap sekali. Saat itu aku akan menelanjangi istriku, kamu juga telanjangi istrimu. Lalu kita bikin foreplay dengan istri kita masing-masing. Nah…lalu diem-diem kita tukar tempat. Kamu terkam istriku, aku terkam istrimu. Deal?”
“Hahahaaa! Deal! Deal!” seruku gembira dengan usul sahabatku, meski sebenarnya ada tandatanya di hatiku : Benarkah mentalku sudah siap untuk membiarkan istriku disetubuhi orang lain? Tapi…bukankah aku juga akan menggauli istri Rendy? Bukankah ini sangat adil bagi kami?
Lalu kami tentukan harinya. Hari yang akan sangat bersejarah itu.Setelah aku berpisah dengan Rendy, aku pulang dengan 1001 khayalan di benakku. Membayangkan istriku yang manis dan bertubuh mulus itu akan digeluti oleh Rendy, sementara aku akan menggeluti Yuli, istri Rendy. Aneh, baru membayangkannya saja aku jadi sangat terangsang. Apalagi pada waktu mengalaminya nanti.Reny sudah 4 tahun jadi istriku. Pada saat kisah ini terjadi Reny sudah berusia 26 tahun, sedangkan aku sendiri sudah hampir 30 tahun. Kami sudah dikaruniai seorang putra yang baru berumur 2 tahun. Ibu mertuaku sangat sayang pada Bernard, nama anakku, jauh melebihi ketelatenan babysitter yang bekerja di rumahku sejak anakku berusia setahun. Karena itu tiada masalah kalau aku dan Reny bepergian, karena di rumahku ada babysitter dan ibu mertuaku.Maka dengan wajah cerah Reny menyetujui ajakanku untuk berakhir pekan di Cipanas. “Rendy punya villa di sana, ya Mas?” tanyanya.”Iya,” aku mengangguk, “villa punya orang tuanya.””Rendy dan Yuli juga ikut nanti?””Ya iyalah. Kalau mereka gak ikut, ya gak enak dong kita pake villa orang tanpa pemiliknya. Kecuali kalau kita sewa villa orang lain.”Singkatnya, pada hari yang telah ditentukan, Rendy dan Yuli menyampar ke rumahku dengan Honda Citynya. Aku pun secepatnya memanaskan mesin Toyota Viosku.Tak lama kemudian, aku sudah menggerakkan mobilku, bersama Reny di sisiku, mengikuti mobil Rendy dan Yuli. Seperti yang sudah diatur semula, aku membekal Tequila, yang katanya bisa membuat wanita jadi horny. Untuk acara rahasiaku dan Rendy setelah berada di villa nanti.Reny tidak tahu bahwa ketika aku menyetir mobil menuju Cipanas, jantungku berdegup-degup terus, karena membayangkan apa yang akan terjadi beberapa jam lagi. Membayangkan sesuatu yang belum pernah kualami dan akan menimbulkan kesan mendalam dalam kehidupan dan hasrat birahiku.Sesampainya di depan villa, jantungku makin berdebar-debar. Tapi aku mencoba menekannya dengan menyapukan pandangan ke sekitar villa, yang memang indah pemandangannya. Diam-diam kuperhatikan Rendy. Ternyata sama denganku, senyumnya tampak canggung. Lalu kami masuk ke dalam villa.Reny dan Yuli bersih-bersih dulu di dalam villa, aku dan Rendy keluar lagi, lalu berjalan-jalan agak menjauh dari villa. Dan ngobrol dengan suara setengah berbisik:
“Kamu nafsu gak liat Yuli?” tanyanya.
“Kamu sendiri gimana? Nafsu gak liat Reny?” aku balik bertanya.
“Ya iyalah, makanya aku yang usul pertama, karena tergiur sekali waktu melihat dia bugil di hpmu itu.”
“Sama,” kataku sambil tersenyum canggung, “aku juga jadi nafsu melihat bentuk istrimu yang seksi…”
Darahku tersirap mendengar pujian itu. Tapi terasa makin membuatku penasaran, ingin segera tau apa yang akan terjadi nanti.
Kami berunding diam-diam, tentang apa yang akan kami lakukan nanti. Setelah matang rencananya, kami kembali ke villa. Di dalam villa, sudut pandangku mencuri-curi pandang terus ke arah Yuli, yang nanti akan kugauli. Kurasa Yuli dan Reny punya keistimewaaan masing-masing. Kulit Reny kuning mirip kulit wanita Jepang, sementara Yuli berkulit baubusuk. Reny tergolong berwajah cantik, sementara Yuli bisa kunilai hitam manis. Tubuh Yuli sedikit lebih tinggi daripada Reny, kutaksir sekitar 170cm gitu, sementara Reny 168cm.
Yang menarik dari hasil curi-curi pandang ini adalah, toket Yuli itu…aku yakin besar sekali…mungkin behanya berukuran 38 ke atas. Sedangkan toket Reny biasa-biasa saja, behanya pun cuma 34.
Menjelang senja, kami makan malam dulu di restoran yang paling dekat dengan villa keluarga Rendy. Pada saat itulah kulihat Reny dan Yuli seakan bersaing dalam berpakaian. Mereka seolah ingin tampil seseksi mungkin. Padahal aku tak menganjurkan apa-apa kepada istriku. Dan kulihat mata Rendy sering memperhatikan istriku. Sialan…sebentar lagi dia akan menikmati kemulusan dan kepadatan tubuh istriku. Tapi pikiran ini justru diam-diam membuat penisku hidup, mengeras dan mengeras terus. Terlebih-lebih setelah membayangkan bahwa untuk pertama kalinya aku akan menikmati kesintalan tubuh Yuli yang hitam manis itu.
Selesai makan, hari mulai malam. Kami pun kembali ke villa.
Seperti yang telah direncanakan, kami minum tequila di sofa ruang depan. Cukup banyak kami membekal minuman itu, karena aku membeli dua botol, ternyata Rendy pun membekal tiga botol. Untungnya Reny dan Yuli tidak menolak waktu ditawari minum, dengan alasan untuk mengusir hawa dingin.
Baru menghabiskan dua sloki, wajah Reny mulai merah. Sikapnya padaku mulai romantis. Yuli pun sama, ia mulai memeluk pinggang Rendy dengan sorot mata berharap.
Lalu kata Rendy, “Kita bikin pesta di dalam kamar yuk…sama-sama main…come on honey,” Rendy meraih lengan istrinya sambil melirik padaku, “ayo Jan…kamarnya cuma satu, kita pake rame2 yok.”
Kuraih juga lengan Reny yang tampak mulai agak teler. Lalu kami ikuti langkah Rendy ke dalam kamar yang agak besar, dengan dua bed berdampingan. Sesampainya di kamar, Rendy langsung menerkam dan menghimpit istrinya. Adegan itu tidak bisa lama-lama kulihat, karena setelah aku dan istriku naik ke atas bed yang masih kosong, Rendy memijat knop sakelar yang letaknya tak jauh dari bantalnya. Kamar itu langsung gelap gulita. Dan terdengar suara Rendy, “Biar kita sama-sama asyik dengan istri kita masing-masing, Jan.”
Aku cuma menjawab dengan ketawa kecil. Tapi dalam gelap aku mulai menanggalkan pakaianku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat, lalu membisiki telinga istriku, “Ayo dong buka pakaianmu semua.”
Reny tidak buang-buang waktu. Ia tahu persis apa yang kuinginkan dalam saat-saat seperti itu. Dalam kegelapan kamar villa, Reny mulai menelanjangi dirinya. Sementara kudengar desah napas Yuli yang mulai tersengal-sengal, entah apa yang sudah terjadi di bed yang satu lagi itu. Mungkin Rendy sedang menjilati puting payudara atau vagina istrinya, entahlah…yang jelas aku pun mulai menggumuli istriku dalam kegelapan.
Terdengar suara Yuli, “Oooh…Bang Rendy…oooh….iya Bang…begituin….oooh…masukin aja Bang…aku gak tahan lagi nih…ooohhh…”


Terangsang oleh suara istri sahabatku itu, aku pun mulai menjilati puting payudara Reny. Tapi tak lama kemudian terasa tanganku dipegang oleh tangan kasar. Tangan Rendy. Aku mengerti maksudnya, bahwa aku harus segera pindah ke bed yang satunya lagi, sementara Rendy akan pindah ke bedku.
Inilah saat-saat yang paling mendebarkan. Aku bergerak ke arah bed di sebelah, lalu mulai menjamah tubuh Yuli. Mudah-mudahan saja Yuli tidak sadar bahwa sekarang bukan lagi suaminya yang akan menikmati kesintalan tubuhnya. Mudah-mudahan pula Reny tidak menyadari bahwa posisiku sudah diganti oleh Rendy.
Wow, aku mulai menikmati hangatnya pelukan Yuli. Tampaknya dia belum sadar bahwa posisi suaminya sudah diganti olehku.”Masukin aja Bang, sudah gak tahan nih…horny banget,” bisik Yuli yang sudah berada di bawah himpitanku. Bicara begitu, terasa tangan Yuli mulai memegang batang kemaluanku yang memang sudah keras. Apakah mau main langsung-langsungan saja? Kurasa untuk yang pertama kalinya memang harus begitu. Jangan banyak variasi dulu. Nanti kalau Yuli dan Reny sudah menyadari hal ini, barulah pakai foreplay sebanyak mungkin.
Maka tanpa banyak pikir-pikir lagi, kubiarkan Yuli meletakkan ujung penisku di ambang vaginanya. Kemudian kudorong sedikit demi sedikit, persis pada saat kudengar suara Reny, “Mas…cepetan dong masukin…duuuhh…kenapa jadi horny gini? Gara-gara minuman tadi kali ya…naaahhh…..iiih…kok punya Mas terasa jadi agak gede? Diapain?”
Gila…itu berarti penis Rendy sudah dimasukin ke dalam liang kemaluan istriku! Tapi…bukankah penisku juga sudah mulai melesak ke dalam liang senggama Yuli?
Bukan cuma melesak, tapi sudah mulai kuayun dengan mantapnya, karena liang senggama Yuli sudah banyak lendirnya (mungkin “hasil” rangsangan Rendy tadi).
Penisku sudah maju mundur dalam jepitan liang surgawi Yuli yang terasa begini legitnya, mungkin karena dia belum melahirkan anak. Liang vaginanya terasa sangat mencengkram dan hangat. Desah nafasnya pun makin nyata diiringi rintihan-rintihan nikmatnya, “Ooohh Bang…oooh…bang…oooh…kok enak sekali ini bang…..oooh…” sementara kedua lengannya mendekap pinggangku kuat-kuat. Ini membuatku makin bernafsu.
Lalu…seperti yang sudah direncanakan, diam-diam Rendy memijat sakelar lampu dan….tiba-tiba kamar itu jadi terang benderang. Ini sesuai dengan kesepakatan aku dan Rendy. Bahwa dalam keadaan sudah “telanjur” (penisku sudah main di dalam liang vagina Yuli dan penis Rendy sudah maju mundur di dalam liang vagina istriku), baik Yuli mau pun istriku takkan bisa menghindar lagi dari kenyataan yang sudah direncanakan oleh Rendy denganku itu.
Setelah kamar villa terang benderang, tentu saja Yuli dan istriku terkejut setelah menyadari dengan siapa mereka sedang bersetubuh.
“Bang Rendy?!” seru istriku di bed sebelah.
“Mas Janus?!” seru Yuli yang sedang kusetubuhi dengan gencarnya.
Lalu terdengar Rendy tertawa, “Hahahaaa….kita lanjutkan saja…sudah telanjur kan?”
“Jadi semuanya ini sudah direncanakan?” tanya Yuli yang tampak berusaha mengendalikan kekagetannya.
“Iya…ini adil kan?” bisikku sambil meremas buah dadanya yang benar-benar montok itu.
“Aaahhh…” cuma itu yang terlontar dari mulut Yuli, kemudian dia mendekap lagi pinggangku dan mulai menggoyang pinggulnya dengan gerakan yang trampil, seperti membentuk angka 8.
Kulirik Reny seperti bingung. Ia menoleh padaku, seakan bertanya kenapa jadi seperti ini? Lalu kutanggapi dengan senyum…dan celotehku, “Enjoy saja….”
Mungkin Reny geram melihatku sedang bersetubuh dengan Yuli, lalu ia “balas dendam” dengan mencengkram bahu Rendy dan mulai menggoyang pinggulnya. Gila…cemburu juga aku dibuatnya. Seingatku, tak pernah Reny menggoyang pinggulnya seedan itu waktu kusetubuhi. Tapi kecemburuanku ini berbuah nafsu dan gairah yang luar biasa. Enjotan penisku di dalam liang surgawi Yuli terasa nikmat luar biasa! Maka semakin edan pula kuhentak-hentak penisku, seperti meronta-ronta dalam jepitan memiaw Yuli…oh…ini nikmat sekali!
Suasana menjadi semakin erotis dan misterius. Yuli meladeni enjotan penisku dengan energik, pinggulnya meliuk-liuk laksana penari India. Tapi aku tak tahu apa yang bersemayam di benaknya. Ketika aku melirik ke samping, goyang pinggul Reny pun tak kalah edannya. Seolah ingin bersaing dengan dinamisnya goyang pinggul Yuli. Ada perasaan geram dan cemburu di hatiku melihat ulah istriku seperti itu. Tapi bukankah aku sendiri sedang menikmati kehangatan tubuh istri sahabatku?
Di tengah persenggamaan yang seru ini aku sempat berbisik terengah di telinga Yuli, “Gimana? Enak?”
“Enak sekali….aaah….” sahut Yuli dalam bisikan juga, mungkin takut terdengar oleh suaminya.
“Nanti lepasin di dalam apa di luar?” bisikku lagi.
“Terserah, aku kan belum punya anak…siapa tahu bisa punya darimu,” bisik Yuli pelan sekali, pasti takkan terdengar oleh suaminya yang semakin asyik menyetubuhi istriku.
Bisikan Yuli itu membuatku semakin bergairah mengayun batang kemaluanku. Tapi sekaligus membuatku tak bisa bertahan lagi, “Aku sudah mau keluar”, bisikku.
“Tahan dulu,” sahut Yuli, “aku juga sudah mau keluar Mas…barengin keluarnya ya…biar enak…”
Lalu kami seperti dua ekor binatang buas, saling cengkram, saling remas, saling jambak…dan akhirnya tak tertahankan lagi, bersemburanlah air mani dari batang kemaluanku, disambut dengan kedutan-kedutan liang kemaluan Yuli di puncak orgasmenya.
Kami menggelepar…menggeliat…berkejut-kejut…lalu sama-sama terkulai di puncak kepuasan.
Tapi kulihat Rendy masih asyik mengenjot batang kemaluannya di dalam liang kemaluan istriku. Bahkan di satu saat, mereka mengubah posisi. Reny di atas, Rendy di bawah. Oh…ini benar-benar membuatku cemburu. Karena kulihat istriku yang aktif mengayun pinggulnya, sementara Rendy merem melek sambil terlentang…
Kucabut batang kemaluanku dari dalam vagina Yuli yang sudah basah kuyup oleh spermaku dan lendir Yuli sendiri. Lalu aku duduk bersila sambil menonton persetubuhan Rendy dengan istriku. Aku terlongong menyaksikan betapa aktifnya Reny saat itu. Dengan sedikit berjongkok, ia mengayun pinggulnya sedemikian rupa, sehingga liang kemaluannya seolah membesot-besot batang kemaluan Rendy.
Yuli pun menonton persetubuhan antara suaminya dengan istriku itu. Dan tampaknya Yuli seperti kepanasan. Diam-diam ia menggenggam batang kemaluanku yang sudah mulai membesar, karena terangsang menyaksikan istriku sedang gila-gilanya bersetubuh dengan sahabatku. Tiba-tiba Yuli mendekatkan wajahnya ke pahaku yang sedang bersila ini, ah…tangannya memegang batang kemaluanku sambil menjilatinya. Sungguh semuanya ini mendebarkan dadaku…terlebih setelah Yuli menghisap-hisap penisku, di depan mata suaminya yang sedang menyetubuhi istriku!
Hanya dalam tmpo singkat penisku sudah mengeras kembali. Dengan sigap Yuli mendorong dadaku agar terlentang, lalu dengan berjongkok ia berusaha memasukkan penisku ke dalam liang surgawinya. Mungkin ia iri melihat suaminya sedang dipuasi oleh istriku dalam posisi terbalik begitu, lalu ia ingin melakukan hal yang sama. Blesss….penisku mulai membenam ke dalam liang memiaw Yuli…
Yuli mulai memainkan pinggulnya dengan energik sekali, naik turun dan bergoyang meliuk-liuk…ooh…penisku terasa dibesot-besot dan diremas-remas. Bukan main nikmatnya, membuat nafasku tertahan-tahan sambil mulai meremas-remas payudara montok yang bergelantungan di atas dadaku…dan di bed yang satu lagi, kulihat istriku lebih energik lagi, mengenjot pinggulnya sambil berciuman dengan Rendy. Ih…aku cemburu…tapi kecemburuanku ini jstru membangkitkan rangsangan dahsyat di jiwaku.
Sulit menggambarkan keadaan yang sebenarnya saat itu, karena aku juga sudah dipengaruhi alkohol, dari tequila yang kami minum tadi. Yang jelas, sepulangnya dari villa itu, Reny terus-terusan menyandarkan kepalanya di bahuku. Kujalankan mobilku dengan kecepatan sedang-sedang saja, karena ingin sambil berbincang dengan istriku.
“Bagaimana kesanmu, Lin?” tanyaku di satu saat.
“Gak tau ah…” Reny menggeleng, tapi kulihat ada senyum di bibirnya.
“Suka kan? Bilang aja terus terang. Semuanya ini kan demi kenikmatan kita bersama.”
“Mas sendiri, suka kan bisa menggauli Yuli?”
“Hmm…terus terang, aku lebih suka melihatmu sedang digauli oleh Rendy. Ada perasaan cemburu, tapi cemburu itulah yang membuatku jadi sangat terangsang.”
Reny terdiam. Lalu kataku, “Makanya satu saat nanti bisa aja kita undang Rendy tanpa istrinya.Atau bisa juga orang lain…biar aku bisa melihatmu digauli lelaki lain yang akan menimbulkan rangsangan hebat bagiku.”
Reny menatapku dengan ekspresi aneh. Lalu tanyanya, “Emang Mas gak tersiksa kalau aku digauli orang? Buatku, semuanya ini aneh…”
“Memang aneh,” sahutku sambil tersenyum, “tapi kamu suka kan?”
Dia tak menjawab. Matanya lurus memandang ke depan.
“Bilang aja terus terang, kamu suka kan? Seharusnya semua itu jadi pengalaman fantastis buat kita. Bener kan?”
“Iya sih…tapi aku takut akibatnya di kemudian hari…”
“Misalnya?”
“Ya…misalnya Rendy…sudah telanjur merasakan tubuhku. Bagaimana kalau nanti ketagihan?”
“Kasih aja. Asal di depan mataku, jangan sembunyi-sembunyi.”
Reny menatapku dengan sorot aneh, “Mas gak sakit hati melihatku digauli sama Rendy?”
“Gak,” aku menggeleng, “kan semuanya yang sudah terjadi tadi sudah kurundingkan dengan Rendy beberapa hari yang lalu.”
“Jadi semuanya itu benar-benar sudah direncanakan sama Bang Rendy?”
“Ya. Memang tadinya usul itu datang dari dia. Dan aku sangat tertarik pada usulnya itu. Bukan karena tertarik pada Yuli, tapi justru ingin menyaksikan kamu di gauli orang lain. Kebetulan aku tahu persis siapa Rendy. Dia bersih, tak pernah jajan dan sebagainya.”
“Terus…nantinya kita akan begitu lagi, maksudku…ngajak Rendy dan Yuli lagi?”
“Semuanya kuserahkan padamu. Karena dalam hal ini kamulah yang harus memutuskan. Dan gak usah di villa itu saja. Bisa juga kita pilih hotel di dalam kota. Dan gak usah di hari libur saja. Kapan saja kita mau, ya kita lakukan.”
“Ntar kalau aku ketagihan gimana?” tanya Reny malu-malu.
Rupanya kejadian di villa itu membuatnya terkesan dan ada kemungkinan ketagihan. Ini mendebarkan. Seandainya dia benar-benar ketagihan, apakah mentalku sudah siap? Ah, sudah kepalangan basah, aku mau jalan terus…karena aku merasakan beberapa hal positif di balik langkah “baru” ini!
Di hari-hari berikutnya, aneh…tiap kali aku membayangkan kejadian di villa itu, membayangkan istriku sedang disetubuhi oleh Rendy, nafsuku mendadak bangkit. Lalu kuajak istriku bersetubuh. Anehnya lagi, tiap kali aku bersetubuh dengan istriku, aku jadi powerfull dan energik sekali.
Pernah istriku berkata seusai bersetubuh denganku, “Sekarang Mas jadi garang banget…kenapa Mas? Pake obat ya?”
“Obatku datang dari jiwaku sendiri. Tiap kali membayangkan kamu lagi disetubuhi oleh Rendy, hasratku bangkit dengan hebatnya.”
“Masa sih? Apa bukan karena terbayang sintal dan seksinya tubuh Yuli?”
“Nggak,” aku menggeleng, “sungguh. Untuk membuktikannya, nanti kita ajak Rendy saja, tanpa kehadiran Yuli. Biar kamu percaya, titik syurnya justru waktu menyaksikan kamu digauli Rendy.”
“Nggak ah. Nggak enak sama Yuli dong. Rasanya kita seperti menghianati dia. Kan kita sudah sepakat untuk jalan berempat terus.”
“Aku gak butuh Yuli, aku butuh Rendy.”
Reny menatapku dengan sorot penuh selidik. Lalu tertunduk, seperti sedang berpikir. Lalu kataku, “Kalau ada orang selain Rendy, kamu mau?”
Reny menatapku lagi. “Takut ah…kalau orangnya punya penyakit kotor bisa menular nanti.”
“Orangnya kamu pilih sendiri deh,” kataku sambil memperhatikan reaksi istriku.
“Bener nih boleh milih sendiri?” tanyanya canggung.
“Bener.”
“Gak usah jauh-jauh Mas…kalau Roy gimana?”
Aku terkejut. Dia memilih adik kandungku!
Tapi apa salahnya?
“Hmm…pengen nyobain brondong ya?” kataku sambil mencolek pipi istriku.
“Bukan gitu, masalahnya biar rahasia kita gak nyebar ke luar Mas.”
Aku setuju. Roy adalah satu-satunya adik kandungku. Dia masih tergolong abg. Dia tinggal di kota lain dan kuliah di kota itu, baru semester pertama. Usianya memang jauh beda denganku. Saat istriku mengajukan namanya, usia Roy baru 18 tahun.
“Oke!” aku mengangguk sambil memijat no hp Roy.
Reny cuma bengong. Mungkin tak menyangka akan secepat itu.
“Hallo, Mas?” terdengar suara Roy di hpku.
“Gimana sehat Roy?”
“Sehat Mas. Besok libur 3 hari, nanti sore mau ke rumah Mas ya. Kangen sama Bernard. Sudah bisa jalan dia?”
“Sudah dong. Ya udah, nanti sore kutunggu ya.”
“Siap Boss!”
Aku tersenyum mendengar ucapan “siap boss” itu. Memang sejak aku yang membiayai kuliahnya, ia sering memanggilku boss.
“Nanti sore dia datang,” kataku sambil menepuk bahu istriku.
“Secepat itu?” istriku tercengang.
“Kebetulan aja, dia mulai besok libur 3 hari. Jadi mulai nanti malam mau nginep di sini.”
“Terus…aku harus gimana? Masa aku langsungajak Roy begituan?”
“Mmm…gimana ya? Mungkin juga Roy gak mau kalau ada aku….tapi gampang deh…kupasangin kamera cctv aja di kamar, terus aku monitor sambil ngumpet.”
“Terus?”
“Kamu rayu aja dia sampai mau. Bilangin aku gak ada, padahal aku ada di gudang sambil monitor di sana. Hmmm…kebayang nafsunya aku nanti waktu lihat kamu disetubuhi sama si Roy…!”
“Ah…Mas ada aja akalnya….”
Dan itulah yang kulakukan. Dengan sigap kupasang kamera cctv, dengan posisi menghadap ke tempat tidur. Monitornya kusimpan di gudang. Kuambil kursi untuk aku duduk di depan monitor.
Tidak sampai sejam, semuanya beres. Kameranya kusembunyikan di dalam lemari, lalu ada lubang kecil yang langsung mengarah ke tempat tidur. Soundnya kupasang terpisah, mikrofon kusimpan di balik lukisan, untuk memantaunya aku pakai headphone di gudang.
Ketika bunyi motor Roy terdengar memasuki pekarangan, aku sudah duduk di dalam gudang, menghadapi monitor. Lalu terdengar suara istriku menyambutnya. Pada saat yang sama, hpku yang disilent berkedip-kedip. Ada sms masuk. Aku agak kaget, karena sms itu datang dari Yuli, bunyinya: Mas Janus…aku kok jadi kangen gini sih? Kapan kita ketemuan tanpa mereka? Aku pengin nyantai Mas. Kebetulan Bang Rendy besok mau ke Medan. Mas datang ya ke rumahku besok malam. Jangan takut sama Bang Rendy. Aku sudah dapat izin kapan saja ketemu sama Mas Janus boleh. Izinnya cuma dengan Mas Janus, dengan orang lain tidak boleh.
Aku tersenyum sendiri membaca sms itu, lalu kubalas dengan sedikit gombal : Aku juga kangen sama Yuli…tapi besok aku harus lihat-lihat dulu apakah besok ada kegiatan atau tidak. Aku siap kok….waktu di villa terasa sekali Yuli itu…hmmm…pokoknya nikmat sekali…!
Yuli membalas lagi: Ah yang bener? Kirain aku saja yang merasakan seperti itu. Tapi janji ya, selama Bang Rendy di Medan, Mas harus datang ke rumahku.
Kujawab lagi: Iya sayang, aku pasti datang!
Waktu smsan itu mataku tetap tertuju ke monitor. Kamarku masih kosong. Mungkin Roy masih ngobrol dengan istriku di ruang depan.
Tak lama kemudian kulihat di monitor sudah ada “kehidupan”. Roy masuk ke dalam kamarku bersama istriku. Cepat kupasangkan headphone di telingaku. Dan terdengar suara mereka:
“Kamar mandi yang di belakang gak ada shower air panasnya, Roy. Makanya enak di kamar mandi yang ini.”
“Iya Mbak. Ohya, Mas Janus kapan pulangnya?”
“Gak tau. Tapi kayaknya sih tengah malam nanti, atau mungkin juga besok pagi langsung ke kantor, pulang ke sini besok sore.”
“Oh gitu…aku mau mandi dulu ya Mbak.”
“Iya. Perlu ditemenin nggak?”
Roy tampak kaget, menatap istriku yang mendadak bersikap centil. “Ah, Mbak Reny…ada-ada saja.”
“Lho…aku nggak main-main kok…”
“Bisa dibunuh aku nanti sama Mas Janus.”
“Nggak lah….nyante aja lagi…”
Roy tampak bingung sesaat, lalu masuk ke dalam kamar mandi yang bersatu dengan kamarku.
Pada saat yang sama, datang lagi sms dari Yuli: Bang Rendy sudah berangkat Mas. Ke rumahku dong sekarang…lagi horny…pengen sama Mas Janus…abisnya terkesan sih sama Mas…
Aku tercenung. Kok jadi bentrok gini waktunya ya? Apakah aku harus pergi diam-diam ke rumah Rendy? Lalu harus meninggalkan detik-detik yang mendebarkan dan siap kurekam itu?
Yuli memang sexy. Tapi saat ini aku lebih tertarik untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Reny dan adikku. Maka kubalas sms Yuli: Paling bisa nanti tengah malam atau besok pagi…lagi ada kerjaan yang belum bisa ditinggalin…gimana?
Yuli membalas smsku: Iya deh, kutunggu ya Mas…kalau pintu sdh pada dikunci, call aja dulu, biar kubukain…maunya sih nanti tengah malam juga gakpapa…kalau pagi kan kurang romantis…he e e
Aku tersenyum sendiri. Bakalan sibuk nih aku nanti.
Sejenak kulupakan dulu Yuli yang setengah memaksaku datang ke rumahnya, karena kulihat di monitor Roy sudah keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di tubuhnya, sementara Reny sedang duduk di depan meja rias.
Lalu:
“Roy…tolong lepasin ritsleting ini dong,” pinta Reny sambil menunjuk ke bagian punggung gaunnya.
“Mmm…aku mau pake baju dulu Mbak…”
“Gak usahlah, pake bajunya nanti saja. Masa minta tolong sedikit saja pake ntar dulu?!”
“Iya, iya Mbak,” sahut Roy sambil menghampiri istriku. Aku yakin ini trik yang sedang dilancarkan oleh istriku, untuk langsung menjebak Roy.
Memang benar dugaanku…waktu Roy menarik ritsliting bagian punggung gaun istriku, kulihat istriku memegang tangan Roy sambil menatapnya: “Roy…”
“Ya Mbak…?” Roy tampak gugup ditatap seperti itu oleh istriku.
“Kamu pernah begituan sama cewek?”
“Ma…maksud Mbak?”
“Masa gak ngerti sih…” kulihat tangan istriku menyergap ke dalam handuk Roy, “Ininya pernah dimainkan sama cewek gak? Hihihihi…panjang gede penismu Roy…Mas Janus kalah sama kamu…sudah keras lagi…”
“Mbak…ohhh…mbak….” Roy tampak gelagapan.
Reny bangkit dari kursi di depan meja rias. Lalu melangkah ke pintu, menutup dan sekaligus menguncinya. Lalu balik lagi menghampiri Roy yang berdiri kebingungan, masih dengan handuk melilit di badannya.
Reny melingkarkan lengannya di leher Roy. Dan terdengar suaranya, “Sudah pernah bersetubuh dengan cewek belum?”
“Pernah…” sahut Roy hampir tak terdengar.
Reny tersenyum, “Bagus…berarti kamu sudah pengalaman…aku lagi horny Roy…kamu mau kan? Mumpung Mas Janus gak ada…”
Reny mengakhiri ajakannya dengan menarik handuk yang melilit di pinggang Roy. Ini membuat Roy langsung telanjang bulat. Dan kulihat batang kemaluannya sudah ngaceng dengan mantapnya. Aku iri juga melihat batang kemaluan Roy, yang ternyata lebih panjang dan lebih besar daripada punyaku. Baru sekali ini aku melihat bentuk batang kemaluan adikku setelah usianya hampir dewasa begitu.
“Mbak…” Roy tampak kebingungan, karena Reny sudah memegang zakarnya sambil mendorong dadanya sehingga terlentang di atas tempat tidurku.
Ini mulai menegangkan bagiku. Kesannya tidak seperti waktu swinger di villa tempo hari. Mungkin karena kali ini aku konsen ke satu arah, ke adegan istriku yang sedang merangsang adik kandungku!
“Iiih…punyamu kok panjang dan gede gini, Roy…sudah keras sekali lagi…Mas Janus kalah nih sama punya kamu…” Reny mulai menciumi penis adikku, membuatku semakin degdegan. Terlebih ketika ia mulai melepas beha dan celana dalamnya, yang membuat Roy melotot. Aku juga melotot tegang. Penisku sudah ereksi sejak tadi, serasa mau ngecrot saja. Tapi kucoba menenangkan diri dengan menyalakan rokok dan mengikuti adegan selanjutnya.
Setelah telanjang bulat, istriku menelentang di sisi Roy sambil bergumam, suaranya tidak begitu jelas. Roy mengangguk, lalu bergerak menindih dada istriku.
Kusangka Roy mau langsung memasukkan penisnya ke vagina istriku. Ternyata tidak. Dia mulai mengemut-emut puting payudara istriku. Tangan istriku mulai menggapai-gapai di punggung Roy…lalu kepala Roy menurun ke arah perut istriku…turun terus sampai berada di antara kedua pangkal paha istriku. Jantungku semakin dagdigdug, kutenangkan lagi dengan sebatang rokok. Oooh, kulihat istriku mulai menggeliat dan melenguh-lenguh…Roy semakin agresif menjilati kemaluan istriku….sampai akhirnya kudengar istriku merengek, “Sudah cukup Roy…sekarang… masukin aja Roy…masukin aja sayang…..aku ingin merasakan punyamu yang tinggi besar itu….”
Tapi Roy seperti keasyikan, terus2an menjilati kemaluan istriku. Sampai istriku merintih lagi, “Roy…aaaah…aku mau orga nih…Troooyyy…..aaaahhhh….”
Lalu kulihat istriku mengegelepar…mengelojot dan merintih lirih…”Troooy….ooohhh…aku keluar, sayaaang….”
Roy terdiam sesaat, lalu mulai naik ke atas dada istriku, sambil mengarahkan penisnya ke mulut memiaw istriku. Jelas sekali, penis Roy mulai membenam ke dalam liang kemaluan istriku yang sudah berlepotan air liur Roy, mungkin juga bercampur lendir vagina istriku sendiri.
“Oooh…Roy….sudah masuk, sayang…” istriku mendekap punggung Roy.
Gila, aku tak tahan melihat semuanya itu. Dan pada waktu kulihat Roy mulai mengayun batang kemaluannya, kuperiksa komputer yang sedang merekam adegan dari cctv, semuanya berjalan dengan baik. Lalu diam-diam aku keluar…
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam taksi (sengaja aku tidak memakai mobilku sendiri, keluar dari rumah pun diam-diam, supaya Roy tidak menyadari kehadiranku).
Setengah jam kemudian aku sudah berada di depan rumah Rendy.
Yuli menyambutku dengan hangat, “Parkir di mana mobilnya, Mas?”
“Pake taksi,” sahutku, “mobil sedang dipakai adikku.”
Semua ini di luar skenario yang sudah kutata dengan istriku. Masalahnya aku tidak mau ganggu adikku, sementara ajakan Yuli membuatku tertarik. Biarlah rangsangan yang kutonton dari dalam gudang tadi mau kusalurkan ke Yuli. Mudah-mudahan saja istriku tidak marah karena aku pergi secara diam-diam begini. Aku juga ingin menikmati tubuh Yuli tanpa kehadiran Rendy. Dan tampaknya Yuli pun sama seperti keinginanku, ingin bercinta tanpa kehadiran suaminya.
Aku sudah terangsang oleh adegan Roy dengan adikku tadi. Maka ketika Yuli menguncikan pintu depan, aku memeluknya dari belakang, “Mana pembantumu?”
“Pulang,” sahutnya, “dia kan cuma kerja sampai jam empat sore.”
“Jadi sekarang Yuli cuma sendirian?”
“Iya Mas…makanya aku ngajak Mas…biar ada yang nemenin…” Yuli yang sedang mengenakan kimono putih bermotif bunga Sakura, membalikkan tubuhnya dan mencium bibirku dengan hangat.
Tentu aku tak mau berdiam pasif…ketika dia meraihku ke sofa, tanganku mulai menyeRenyp ke belahan kimononya, langsung menyentuh payudara montoknya yang sejak tadi kuyakini tidak mengenakan beha, karena kedua putingnya tampak menonjol meski masih tertutup kimono. Terasa menghangat tubuh Yuli setelah aku berhasil memegang payudaranya…meremasnya dengan lembut…
Tak cuma itu…tanganku yg satu lagi mulai menyeRenyp ke balik celana dalam Yuli, mulai menyentuh jembutnya yang lebat…mulai menyeRenyp ke celah surgawinya yang mulai membasah dan hangat. Napas Yuli mulai tertahan-tahan.
Apa yang sedang terjadi di antara istriku dengan Roy, terlintas-lintas terus dalam terawanganku. Pasti mereka sedang gila-gilanya memadu kenikmatan. Membuat darahku tersirap-sirap….lalu membuatku mulai ganas menggeluti tubuh Yuli sebagai kompensasi…sampai akhirnya Yuli mengajakku pindah ke kamarnya. Aku setuju.
Di dalam kamarnya, Yuli menanggalkan kimononya dengan senyum mengundang. Sehingga tinggal celana dalam yang melekat di tubuh tinggi montoknya itu. Dalam keadaan seerotis itu, dia meraih kedua pergelangan tanganku, dengan senyum manis di bibirnya. Aku Tak mau buang-buang waktu lagi. Kutanggalkan celana jeans dan shirtku, lalu merapat ke tubuh Yuli dalam keadaan sama-sama tinggal bercelana dalam saja…
Hawa hangat tersiar dari tubuh Yuli ketika aku mulai menggumulinya. Sempat juga kudengar bisikannya, “Makasih Mas…Mas datang tepat pada saat aku butuh Mas…”
Aku tidak menanggapinya dengan kata-kata melainkan dengan tindakan. Aku bukan orang hipokrit. Aku juga sangat membutuhkan variasi dalam kehidupan seksualku, supaya perjalanan hidupku tidak terasa hambar….
Ketika tanganku mulai menyeRenyp lagi ke balik CD Yuli, aku pun membiarkan tangan Yuli menyeRenyp ke balik Cdku. Dan ketika tanganku mulai mengelus kemaluan Yuli, aku pun rasakan Yuli mulai menggenggam dan meremas batang kemaluanku dengan hangat dan lembut.
“Sudah keras banget Mas,” bisiknya.
“Iya…sejak smsan tadi, punyaku ngaceng terus…” sahutku bercampur dusta. Karena sebenarnya aku sedang membayangkan istriku sedang enak2nya disetubuhi oleh Roy, adikku yang masih sangat muda itu…
Lalu tanpa basa basi lagi kutempelkan moncong tongkolku di mulut memiaw Yuli yang sudah membasah itu…secara reflex Yuli merenggangkan kedua kakinya…dan kudorong batang kemaluanku sampai masuk sedikit…terdengar desisan mulut Yuli sambil melotot…kukocok2 sedikit zakarku, sampai akhirnya membenam sekujurnya di dalam liang surgawi Yuli….
Pagi itu aku tidak masuk kerja, karena kantorku sedang direnovasi, jadi aku bisa istirahat seminggu. Reny sedang mengantarkan anakku yang sudah dimasukkan ke playgroup. Tanganku tertusuk ujung obeng waktu ngotak ngatik sound system di mobilku tadi, lalu kucari-cari betadine di sana sini, tidak ketemu. Di mana ya? Perasaan Masih ada betadine di kamarku ini. Lalu kucari di meja rias istriku. Kutarik juga lacinya, karena biasanya Reny menaruh benda-benda kecil di situ. Tapi pandanganku malah tertumbuk ke sebuah buku tebal. Buku apa ini?
Ternyata buku itu penuh dengan tulisan istriku. Semacam buku harian. Iseng-iseng kubaca. Isinya mendebarkan. Rupanya setiap kejadian penting dicatatnya di buku ini. Dan yang paling mendebarkan adalah rangkaian kalimat berikut ini:
—————————————————————————————— ———————–
AKU mencintai Mas Janus dengan sepenuh hati. Tapi mengapa semuanya ini harus terjadi? Bisakah aku disalahkan, sedangkan semua yang telah kualami adalah “hasil karya” suamiku sendiri?
Aku harus jujur mengakuinya bahwa aku telah menikmati semuanya, meski dengan perasaan bersalah. Tadinya kuanggap semuanya itu gila. Tapi ternyata ada greget yang luar biasa, yang menimbulkan nikmat dan sensasi luar biasa.
Aku masih ingat benar waktu terjadinya petualangan di villa Rendy itu, aku kaget sekali setelah menyadari bahwa yang sedang menyetubuhiku adalah Rendy, bukan suamiku. Aku juga kaget ketika melihat suamiku sedang menyetubuhi Yuli. Oh my God! Apa yang sedang terjadi ini? Tapi lalu kusadari bahwa semuanya itu direncanakan oleh mereka, oleh Rendy dan suamiku. Sedangkan batang kemaluan Rendy sudah telanjur berada di dalam liang kemaluanku, aku sudah telanjur merasakan nikmatnya ent*tan Rendy yang memang lebih panjang dan lebih besar daripada punya suamiku. Akhirnya aku memejamkan mata dan mulai menikmatinya dengan perasaan melayang-layang.
Tetapi kreativitas sex Mas Janus tak berhenti sebatas itu saja. Pada suatu hari dia mengungkapkan rencana baru, yaitu niatnya untuk menjebak orang lain untuk menggauliku dan ia sendiri akan mengintipnya. Menurutnya hal itu akan membangkitkan nafsunya yang luar biasa. Lalu kuusulkan orang lain itu Roy, adik Mas Janus sendiri. Ternyata usulku disetujui, meski dengan sedikit sindiran bahwa aku seneng brondong.
Rencana itu jelas mendebarkan. Meski buat orang lain mungkin merupakan hal yang aneh dan tak masuk di akal. Tapi aku sendiri merasakan hal yang sama, ketika melihat suamiku sedang menyetubuhi Yuli, perasaanku dibakar cemburu, tapi lalu kulampiaskan kecemburuanku dengan meladeni Rendy seedan mungkin. Dan rasanya luar biasa. Belum pernah kurasakan hubungan sex senikmat itu.
Lalu terjadilah sesuatu yang merupakan wujud dari rencana suamiku sendiri. Bahwa Roy masuk ke dalam perangkapku.
Apakah Roy lebih dominan memberikan kepuasan padaku? Tentu saja. Dia Masih bujangan. Zakarnya terasa keras sekali waktu membenam ke dalam liang kemaluanku. Dan gesekan-gesekannya terasa begitu mantap…lebih mantap daripada suamiku.
Tapi apakah dengan peristiwa-peristiwa edan itu cintaku pada Mas Janus mulai pudar? Tidak! Aku malah semakin mencintainya, karena dia telah menciptakan sesuatu yang membuat kepuasan luar biasa padaku.
Malam itu Roy sampai tiga kali ejakulasi, karena baru sebentar istirahat dari ejakulasi pertama, zakarnya kembali menegang. Dan persetubuhan yang ketiga kalinya adalah hasil rangsanganku, membuat dia bersemangat menyetubuhiku untuk ketiga kalinya.
Aku tahu bahwa semua yang kulakukan dengan Roy disorot oleh kamera cctv dan dimonitor oleh suamiku. Dan semuanya itu memang kehendak suamiku sendiri. Tapi setelah Roy keluar dari kamarku, setelah aku selesai membersihkan vegyku di kamar mandi, Mas Janus tak muncul juga. Lebih dari sejam aku menunggu, dia tak muncul-muncul. Apakah dia ketiduran di kamar monitoring itu?
Aku jadi serba salah. Mau mengetuk pintu gudang, takut dia lagi asyik melakukan sesuatu. Yah, akhirnya aku rebahan dengan tubuh lemas, karena tenagaku seperti dikuras waktu meladeni Roy tadi.
Menjelang subuh, ketika aku sudah tidur nyenyak, terdengar pintu kamar dibuka, suamiku masuk.
Karena masih terkuasai alam tidur, aku bertanya lemah, “Kok baru masuk? Tadi ngapain aja?”
Suamiku mencium pipiku sambil berbisik, “Jangan marah ya…tadi aku ke rumah Rendy.”
“Terus?” tanyaku sambil menggesek mataku.
“Janji dulu, kamu gak marah ya.”
“Iya janji. Ngapain ke rumah Rendy?”
“Mmm…Yuli ngajak…karena Rendy lagi ke Medan…”
“Pantesan…” cetusku sambil mencubit lengan suamiku, “Asyik dong…”
Suamiku cuma nyengir, lalu katanya, “Kamu juga kan asyik sama si Roy tadi…”
“Jadi Mas gak nonton aku sama Roy tadi?”
“Nonton sebentar, terus pergi diam-diam. Tapi semuanya kan direkam. Nanti bisa kutonton rekamannya.”
“Ih…nanti kalau Rendy juga ngajak aku diam-diam gimana?”
“Mau balas dendam? Hahaha…gakpapa. Yang penting laporan sama aku. Kan aku juga laporan bahwa tadi aku sama Yuli.”
“Ih…kita kok jadi begini Mas?”
“Kamu nyesel? Jangan nyesel dong, tenang aja lagi.”
Subuh itu suamiku tidak melakukan apa-apa padaku. Mungkin dia sudah kecapean menyetubuhi Yuli. Tapi aku sendiri juga masih lemas karena habis melayani adik iparku yang masih sangat tangguh itu.
SETELAH suamiku berangkat kerja, seperti biasa aku mandi di bawah semburan shower air hangat. Rasanya ingin membersihkan tubuh sebersih mungkin. Entah kenapa. Selesai mandi aku berias dulu di depan cermin rias, kemudiankeluar dari kamarku dengan hanya mengenakan kimono.
Kulihat pintu kamar tamu masih tertutup. Kamar itu dipakai oleh Roy. Sudah sesiang ini dia belum bangun? Kucoba memutar handle pintu kamar itu, ternyata tidak dikunci. Diam-diam aku masuk ke dalam. Sambil menutupkan kembali pintu dari dalam, kulihat Roy masih nyenyak tidur tanpa selimut. Dia hanya mengenakan celana dalam dan kaus t-shirt sambil memeluk bantal guling. Selimut tergeletak di sampingnya. Apakah dia tidak kedinginan?
Dengan hati-hati aku merayap ke sisinya. Aneh, hasrat birahiku berkobar lagi. Padahal tadi malam aku sudah dipuasi oleh adik iparku ini. Lalu kalau pagi ini terjadi lagi seperti yang tadi malam, apakah Mas Janus takkan marah? Ah, bukankah suamiku mengizinkanku untuk melakukannya, asalkan nanti laporan padanya?!
Entahlah kenapa aku jadi begini bergairah, begini binalnya untuk mendapatkan kepuasan seksual di pagi ini. Tapi Roy masih tidur pulas, sampai tidak menyadari bahwa tanganku sudah menyeRenyp ke dalam CDnya, sudah menggenggam batang kemaluannya yang masih sangat lemas. Dan kuremas-remas dengan lembut sesuatu yang tadi malam sangat memuaskanku itu. Aku mulai gemas, kusembulkan zakar Roy dari celah CDnya, lalu tanpa ragu lagi kudekatkan wajahku ke zakar yang masih terkulai lesu itu. Gap…mulai kukulum dan kumainkan ujung lidahku untuk mengelus puncak batang kemaluan Roy.
Dengan penuh semangat kuselomoti batang kemaluan Roy yang perlahan-lahan mulai membesar dan memanjang….terdengar suara nafas Roy, pertanda mulai bangun…batang kemaluannya pun mulai bangun, mengeras dengan gagahnya!
Lalu terdengar suara Roy mendesah, “Oo…oooh…mbak…oooh…ini enak sekali….oooh….”
Tanpa pikir panjang lagi kulepaskan kimonoku, langsung telanjang bulat karena tak mengenakan pakaian dalam…hmm..semuanya sudah dipersiapkan! Lalu kutarik CD Roy, sehingga zakarnya yang sudah berdiri dengan gagah itu tak tertutup apa-apa lagi. Kemudian kudorong dadanya supaya terlentang. Lalu aku merangkak ke atas tubuhnya sambil mengarahkan batang kemaluannya supaya ngepas menekan liang kemaluanku yang sudah membasah dengan lendir libido ini.
Lalu kuturunkan pinggulku, sehingga perlahan tapi pasti zakar Roy membenam ke dalam liang veggyku. Oh, gila, rasanya aku horny banget pagi ini.
Aku menelungkup setelah menanggalkan t-shirt Roy. Lalu mulai aktif, menaik turunkan
pinggulku dengan goyangan yang sudah terlatih. Dengan sendirinya batang kemaluan Roy dibesot-besot oleh dinding liang kenikmatanku.
Roy terengah-engah sambil memeluk pinggangku erat-erat. Membuatku makin bersemangat untuk menggenjot pinggulku, oh, rasanya enak sekali pergeseran antara dinding liang kenikmatanku dengan batang penis Roy yang gagah perkasa itu.
SAMPAI Roy meninggalkan rumahku, rahasia itu tetap kujaga. Roy tidak kuberitahu bahwa semuanya itu “hasil karya” abangnya sendiri. Aku tetap ingin menjaga image suamiku dan aku sendiri, agar jangan dicap pasangan psikopat. Memang semuanya seolah hanya bisa dilakukan oleh sepasang suami-istri yang psikopat. Tapi aku sudah mulai menikmatinya, sudah mulai memahami jalan pikiran suamiku, bahwa semuanya ini mendatangkan kenikmatan yang luar biasa, sekaligus menghilangkan kejenuhan.
Hari demi hari berlalu. Apa yang kucemaskan tidak terjadi. Aku dan Mas Janus enjoy-enjoy saja menempuh rumah tangga, tanpa badai yang berarti. Bahkan anehnya sikap Mas Janus makin ramah dan lembut padaku. Jadi tiada alasan bagiku untuk mempertentangkan pendiriannya. Bahkan dengan jujur harus kuakui bahwa aku enjoy dengan semuanya ini. Dan setuju dengan kata-katanya, “Daripada selingkuh di belakang, mending selingkuh terang-terangan begini. Yang penting semuanya harus under control. Jangan jadi liar.”
Memang semua yang telah terjadi dengan Roy kulaporkan kepada suamiku, sebagai tanda masih under control. Dan suamiku malah tersenyum, tiada ekspresi kemarahan sedikit pun. Bahkan semakin hangat dia memperlakukanku sebagai istri syah dan ibu dari anaknya.
Lalu semuanya berjalan seperti biasa. Tanpa gejolak yang berarti dalam rumah tanggaku. Sampai pada suatu malam…ketika aku pulang arisan ibu-ibu di lingkunganku, kulihat Mas Janus tersenyum-senyum sambil memelukku. Dan berbisik ke telingaku, “Aku lagi bergairah sekali sekarang ini sayang.”
Biasanya kalau mau bersetubuh dengan Mas Janus, aku suka ke kamar mandi dulu untuk membersihkan kemaluanku. Tapi malam itu Mas Janus tak memberiku kesempatan. Langsung menelanjangiku di dalam kamar dan menerkamku di atas tempat tidur.
Aneh memang, ketika batang kemaluan Mas Janus membenam ke dalam liang ku, aku merasakan gairahnya begitu hebat. Terlebih setelah batang kemaluannya mulai mengenjot liang veggyku, oh, kenapa Mas Janus jadi ganas begini? Apakah dia habis makan obat perangsang atau bagaimana?
Aku pun mulai menikmatinya dengan sepenuh gairah kewanitaanku. Kugoyang pantatku dengan gerakan meliuk-liuk, membuat nafas Mas Janus semakin mendengus-dengus. Aku pun terpejam-pejam dalam arus kenikmatan.
Tetapi…ada yang aneh…ya…ini aneh. Bahwa ketika Mas Janus sedang mengenjotku sambil menelungkup di atas tubuhku, terasa ada yang mengelus-elus betis dan pahaku.
Aku mencoba memperhatikannya dengan seksama. Apa yang sedang terjadi ini?
Dan alangkah kagetnya aku, setelah menyadari bahwa ternyata memang ada tangan lain yang sedang mengelus pahaku. Tangan itu adalah tangan Bang Rendy! Ya, Bang Rendy sudah berada di atas tempat tidurku dalam keadaan tak berbusana! Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah ini semuanya sudah mereka atur sebelumnya?
“Ba..Bang Be…Rendy?!” seruku tertahan.
Rendy cuma tersenyum dan tetap mengelus-elus pahaku. Bahkan lalu ia memegang bahu suamiku sambil berkata dengan senyum, “You istirahat dulu dong…biar aku yang menggantikanmu…”
Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, terlebih ketika kulihat suamiku malah mengangguk sambil tersenyum dan menarik batang kemaluannya sampai terlepas dari liang kemaluanku. Dan Rendy merayap ke atas tubuhku sambil mengarahkan batang kemaluannya ke mulut ku.
Kupegang pergelangan tangan suamiku yang duduk di sebelahku sambil menatapnya, “Mas…”
“Santai aja sayang,” sahut suamiku sambil mengelus pipiku, “Enjoy aja.”
Belakangan aku tahu bahwa ketika aku sedang arisan, Rendy datang dan sengaja disembunyikan di kamar mandi yang bersatu dengan kamarku. Ah…semuanya memang sudah direncanakan.
Perasaanku jadi bercampur aduk ketika lubang ku mulai dicoblos oleh batang kemaluan Rendy. Salah tingkah, karena suamiku menyaksikan semuanya ini. Maka sambil menggenggam tangan suamiku erat-erat, kupejamkan mataku…sambil merasakan nikmatnya zakar Rendy yang mulai maju-mundur di dalam jepitan liang kewanitaanku.
Orang bilang rumput di pekarangan tetangga selalu tampak lebih hijau daripada di pekarangan sendiri. Kini aku merasakannya. Bahwa ayunasn Rendy terasa sekali membanjiri bathinku dengan kenikmatan. Karena Rendy tak hanya menggenjot nya di dalam ku, tapi juga mengulum-ngulum puting payudaraku, sesekali mengisapnya kuat-kuat. Sementara tangannya pun tidak diam. Terkadang mengelus anusku, menimbulkan geli-geli nikmat yang membuatku sering menahan nafas. Aku pun mulai merengkuh leher Rendy dan memeluknya erat-erat, tanpa berani memandang ke arah suamiku.
Ketika kubuka mataku, kulihat suamiku sedang melangkah ke kamar mandi, mungkin mau pipis. Saat itulah aku merasa bebas untuk menggoyang pinggulku seedan mungkin, karena enjotan Rendy emang terasa sekali enaknya. Dan ketika ia mencium bibirku, sengaja kupagut dan kulumat bibirnya dengan penuh gairah. Biarlah, bukan aku yang merencanakan semuanya ini.
Kelihatannya kelincahanku dalam meliuk-liukkan pinggul justru membuat suamiku senang. Ia malah berkomentar setelah keluar lagi dari kamar mandi, “Nah begitu dong, jangan bikin malu aku….biar Rendy tau istriku ini jago goyang…hihihihi…”
Aku masih belum mengerti kenapa suamiku bisa seperti itu. Yang jelas, kulihat dia enjoy-enjoy aja melihatku sedang disetubuhi oleh sahabatnya, enjoy-enjoy saja melihat pinggulku bergoyang-goyang edan.
Rendy pun sama enjoynya. Tanpa peduli kehadiran suamiku, Rendy terkadang mendesakkan batang kemaluannya dalam sekali, sampai menyentuh ujung liang ku. Ini membuatku merengek nikmat, dengan mata merem melek.
Ketika aku mau merasakan titik puncak orgasmeku, tak terkendalikan lagi aku merintih-rintih histeris, “Ooohhh…Bang Rendy….oooh…aku mau orga Bang….ooooh….”
Tanpa peduli lagi bahwa suamiku sedang menyaksikan semuanya ini.
Susah melukiskan semuanya itu, karena aku sendiri dalam keadaan edan-eling di puncak orgasme. Yang aku ingat, Rendy melanjutkan enjotan nya meski ku sudah becek. Dan pada suatu saat ia menekankan batang kemaluannya kuat-kuat sambil mendengus, ooooooo…oohhhh…..lalu terasa liang kemaluanku disemprot-semprot cairan hangat, pada saat yang sama Rendy mendekapku kuat-kuat, lalu perlahan-lahan terasa batang kemaluannya melemas dan mengecil.
Aku pun memejamkan mata dalam letih dan puas. Tapi beberapa detik kemudian suamiku menggantikan peran Rendy, memasukkan lagi zakarnya yang Masih keras ke dalam liang kemaluanku yang sudah kebanjiran air mani Rendy. Aku tak kuasa menolak ataupun memberikan saran. Aku hanya terdiam, lalu berusaha memuaskan nafsu suamiku dengan goyangan pinggul sebisa mungkin. Padahal sekujur tubuhku masih terasa ngilu-ngilu.
Malam itu memang malam edan. Setelah suamiku ejakulasi, Rendy maju lagi. Dia minta agar aku mengubah posisiku jadi di atas. Lalu terjadilah persetubuhan yang kedua dengan sahabat suamiku itu.
Tentu saja ronde kedua ini (kedua untuk Rendy, ketiga untukku) jauh lebih lama daripada ronde pertama tadi. Aku sendiri sudah tak tahu lagi berapa kali mengalami orgasme saat itu. Yang aku tahu, setelah lebih dari sejam kami bersetubuh, Rendy mencabut nya dari ku, kemudian menyemburkan sperma hangatnya di dalam mulutku.
Setelah Rendy terkapar, aku bergegas menuju kamar mandi, untuk berkumur-kumur dan membersihkan kemaluanku. Lalu kembali ke kamar, tadinya ingin beristirahat. Tapi rupanya persetubuhanku yang kedua dengan Rendy tadi menyebabkan libido suamiku berkobar lagi!
Terpaksalah kuladeni lagi suamiku, karena merasa kasihan kalau nafsunya tidak kupuasi. Tapi, oh my God….selesai suamiku menyetubuhiku, Rendy ingin meku lagi untuk yang ketiga kalinya!
Mungkin di situlah letak keistimewaan main threesome seperti yang pernah diungkapkan oleh suamiku. Aku sudah membuktikannya. Suamiku biasanya hanya menyetubuhiku 2 atau 3 hari sekali. Tapi malam itu, ia mampu menyetubuhiku 3 kali! Berati aku mengalami hubungan sex 6 kali di malam edan itu!
ESOKNYA, sepulang dari kantornya, suamiku menghampiriku yang sedang rebahan di kamar. “Bagaimana kesannya tadi malam, sayang?”
“Lemes….tubuhku serasa dilolosi….” sahutku sambil tersenyum canggung.
Suamiku memelukku dan berbisik, “Tapi kamu puas kan?”
“Lebih dari puas,” sahutku sambil mencubit lengan suamiku, “Mas sendiri sampai bisa tiga kali ya.”
Suamiku mengangguk, “Itulah kelebihan threesome.”
“Emang Mas gak cemburu waktu Rendy sedang menyetubuhiku?” tanyaku dengan pandangan penuh selidik.
“Tentu aja cemburu,” sahut suamiku dengan senyum, “Tapi di balik rasa cemburu, nafsuku jadi berkobar dengan hebatnya ketika melihatmu sedang disetubuhi oleh Rendy. Padahal belakangan ini aku tak pernah lagi menidurimu lebih dari sekali dalam semalam kan? Tapi tadi malam….”
“…Sampai tiga kali!” tukasku.
Suamiku mengangguk sambil tersenyum menggoda.
“Tapi…pada satu saat, mungkin Rendy akan ngajak Mas untuk mengeroyok Yuli juga kan?”
Suamiku tercenung sesaat. Lalu katanya, “Mungkin saja. Tapi aku pasti minta izin dulu padamu. Gakpapa kan?”
Meski berat terpaksa kujawab, “Gakpapa…biar adil….tapi Mas…ada masalah lain yang selama ini jadi pikiranku…”
“Soal apa?”
“Si Roy itu…bagaimana kalau dia ketagihan?”
“Ajak aja ke sini. Biar aku bisa nonton diam-diam.”
“Dia gak mau Mas. Takut sama Mas. Kan aku belum bilang kalau semua yang telah terjadi itu keinginan Mas sendiri.”
“Memang sebaiknya jangan bilang dulu. Nanti disangkanya aku sudah gila. Padahal aku cuma ingin kreatif aja.”
“Jujur aja, tadi pagi dia nelepon. Dia bilang ketagihan….”
“Tentu aja ketagihan. Cowok mana yang tidak ketagihan setelah merasakan enaknya mu. Hehehe….”
“Mm…kalau…kalau…ah gak deh…”
“Lho, ngomong kok gak diterusin?!”
“Takut Mas marah.”
“Gak. Aku janji gak marah. Ada apa?”
“Kalau dia ngajak ketemuan di satu tempat gimana? Kabulkan jangan?”
“Dia kost di luar kota, dekat kampusnya. Di rumah kost itu banyak orang. Gak mungkin bisa ketemuan di sana.”
“Kalau…kalau…kalau di hotel?”
“Boleh aja. Yang penting kamu harus laporan sama aku nanti.”
“Bener nih Mas?”
“Bener,” suamiku mengangguk, sebaiknya sih di sini. Kan bisa kuatur, misalnya pura-pura aku gak di rumah.”
“Lalu diam-diam Mas ketemuan sama Yuli lagi?”
“Nggak sayang. Intinya bukan itu. Aku merelakanmu digauli orang lain bukan karena ingin selingkuh dengan wanita lain. Yang penting bagiku, bisa menyaksikan waktu kamu digauli orang lain itu. Hal itu akan membuatku cemburu, lalu bangkit nafsuku…seperti tadi malam itu…”
“Yang tadi malam itu swinger juga Mas?”
“Bukan, yang tadi malam namanya threesome MMF. Kalau swinger ya waktu di Puncak itu.”
“MMF? Maksudnya?”
“MMF itu male-male-female. Kalau FFM female-female-male.”
“Berarti bisa juga perempuannya dua orang, lelakinya seorang?”
“Iya. Tapi pada dasarnya fisik wanita lebih siap untuk menghadapi pria lebih dari seorang. Lelaki kan harus ereksi. Kalau menghadapi wanita lebih dari seorang, pasti dia tak bisa memuaskan wanita-wanita itu. Hanya buat gaya-gayaan doang. Kalau wanita kan bisa melayani pria walaupun sambil tidur. Pria tidak bisa begitu. Penisnya harus ereksi dulu sebelum melakukan kontak seksual.”
“Berarti wanita lebih tangguh daripada lelaki dong Mas.”
“Iyalah, aku harus jujur mengakui hal itu.” suamiku mengangguk, “Perempuan kan tinggal telanjang dan telentang, mau diantri sama sepuluh lelaki juga bisa. Tapi lelaki? Kalau sudah ejakulasi ya terkulai, letih lesu…dikasih bidadari juga belum tentu mampu bangkit lagi…hehehe…”
Aku cuma tersenyum mendengar ucapan suamiku itu. Semacam pengakuan lelaki. Bahwa sebenarnya perempuan ditakdirkan lebih tangguh daripada pria secara fisik. Lelaki kalau dikasih 10 orang cewek dalam semalam, pasti takkan ternikmati semua. Tapi wanita? Diantri sama 10 orang lelaki juga bisa. Tapi poliandri tetap merupakan hal yang janggal di dunia ini, sementara poligami banyak terjadi di mana-mana.
“Kapan mau swinger lagi?” tanya suamiku tiba-tiba.
“Sama Rendy dan Yuli?” aku balik bertanya.
“Nggak harus dengan mereka. Masih banyak alternatif.”
“Hah? Gak salah tuh?” aku melotot, “Rencana apa lagi yang sudah tersimpan di hati Mas?”
“Masih kupikirkan,” sahut suamiku datar, “Soalnya kita harus yakin teman swinger kita bersih, jangan sampai menularkan penyakit.”
Aku tidak berani menanggapi. Lalu kata suamiku, “Kalau dengan Rendy dan Yuli terus, kita bisa jenuh juga.”
“Ih…emang Mas punya rencana sama siapa lagi?”
“Sudah ada dua pasang yang mau swinger sama kita. Tapi aku harus memikirkannya dulu.”
“Tapi Mas…apa hubungan kita nanti gak rusak?” tanyaku sangsi.
“Nggak sayang,” Mas Janus memelukku lembut, “Yang penting jangan terlalu sering. Obat juga kalau over dosis bisa berdampak negatif.”
Aku cuma mendengarkan. Da kata Mas Janus lagi, “Sekali kita swinger, kesannya akan melekat dalam waktu tertentu. Bisa sebulan, bisa dua bulan dan seterusnya. Tergantung dari kesan yang kita dapatkan pada waktu swinger itu.”
Aku tetap tak mau menanggapi, takut salah ngomong.
Kata suamiku lagi, “Sebenarnya sekarang ada beberapa perkumpulan swinger, tersebar di kota-kota besar. Tentu saja aktivitas mereka gak terlalu terbuka. Semuanya dilakukan secara rapi. Seolah-olah kumpulan arisan keluarga biasa.”
“Masa sih?” aku tercengang, “terus bagaimana cara aktivitas mereka?”
“Biasanya mereka bergerak tidak terlalu banyak, supaya tidak menraik perhatian. Misalnya satu hari mereka berkumpul di sebuah villa besar di luar kota. Mungkin yang hadir hanya enam atau tujuh pasang. Lalu di villa itu mereka tukar pasangan, bisa dengan cara mengundi atau atas kesepakatan semua pihak.”
“Ih…kalau yang begitu jangan mau Mas. Lama-lama bisa over dosis seperti kata Mas tadi.”
Suamiku hanya tersenyum datar. Entah apa yang sedang berada di alam pikirannya.
Kami sama-sama terdiam, hanyut dalam terawangan masing-masing.
Hari berganti hari tiada peristiwa yang penting, sampai pada suatu hari, terjadilah peristiwa yang tak kuduga sebelumnya. Berawal dari kontak telepon dengan adik iparku:
“HALLO…Lagi ngapain Roy?”
“Lagi nyantai aja. Apa kabar Mbak?”
“Baek. Kamu bener-bener kangen sama aku?”
“Kangen sekali. Gimana ya…mm..aku ketagihan Mbak…tapi takut ketahuan sama Mas Janus.”
“Ah, nggak apa-apa kok. Aku jamin abangmu nggak apa-apa.”
“Nggak apa-apa gimana?”
“Nanti deh aku cerita. Tapi kalau kamu mau dan ingin bebas, kan bisa ketemuan di hotel.”
“Ih, takut Mbak. Sekarang sering ada razia di hotel-hotel. Kalau sampai kena razia bisa heboh nanti. Mmm…kalau Mbak mau, aku ada usul…”
“Apaan tuh?”
“Aku punya temen, Sony namanya. Lengkapnya sih Sonyer, tapi biasa dipanggil Sony aja.”
“Terus?”
“Rumahnya kosong, cuma dia sendiri di rumah itu. Orang tuanya di Amerika.”
“Terus?”
“Ya kita ketemuannya di rumah dia aja. Gimana?”
“Lho, kalau dia tau gimana?”
“Gakpapa Mbak. Orangnya fair kok.”
“Terus?”
“Jujur, aku sudah bilang kapan-kapan mau numpang pake salah satu kamar di rumah dia. Ya tadinya sih kalau Mbak gak keberatan, mau kuajak ketemuan di rumah dia itu Mbak.”
“Kalau dia tau kan malu, sayang.”
“Di dalam kamar tertutup, masa dia tau apa yang kita lakukan?”
Aku tercenung sesaat. Lalu terdengar lagi suara Roy di hpku, “Kita ketemuan aja dulu di sana. Nanti Mbak pertimbangkan di sana. Kalau Mbak gak sreg ya cari alternatif lain.”
“Tapi kamu jangan bilang aku ini istri abangmu. Gak enak.”
“Beres Mbak. Terus kapan kita ketemuan di sana?”
“Terserah kamu. Tapi harus di jam kerja.”
“Mmm…Senin pagi aja ya.”
“Senin lusa? Oke aku setuju. Soalnya tiap hari Senin abangmu suka pulang telat, kadang-kadang sampai malam. Rumah temanmu itu di mana?”
Roy menyebutkan suatu alamat rumah.
Kataku. “Kita langsung ketemuan di sana aja ya Roy. Jangan keliatan bareng perginya.”
“Baik, jam sembilan aku sudah stand by di rumah Sony. Mbak mau pake apa ke sananya?”
“Ya pake taksi aja.”
“Sip deh! Sampai ketemu di sana nanti ya Mbak.”
“Oke. Take care Roy.”
Setelah hubungan telepon terputus aku tercenung. Memang harus kuakui, Roy membuatku kangen terus. Maklum dia masih begitu muda, 19 tahun juga belum. Tentu sangat beda dengan suamiku yang sudah 30 tahun. Aku sudah membayangkan betapa nikmatnya dalam gasakan dan keperkasaan Roy nanti.
Rasanya lama sekali menunggu hari Senin tiba. Dua hari yang kunantikan serasa menunggu dua bulan lamanya. Aku resah sekali rasanya. Tapi kusembunyikan keresahanku ini, jangan sampai diketahui oleh suamiku.
Senin yang dinantikan tiba juga. Jam 7 suamiku sudah berangkat kerja. Setelah bunyi mesin mobilnya hilang dari pendengaran, bergegas aku menuju kamar mandi. Membersihkan tubuhku sebersih-bersihnya. Tak cukup dengan itu. Selesai mandi kusemprot-semprotkan parfum ke setiap sela yang mungkin tersentuh oleh Roy nanti. Aku ingin menimbulkan kesan seindah mungkin di batin adik iparku itu.
Kukenakan celana jeans dengan t-shirt biru tua yang agak ketat. Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam taksi yang sedang menuju alamat rumah teman Roy yang bernama Sony itu.
Rumah yang kutuju itu beberapa kilometer di luar kota. Aku agak tertegun melihat kemegahan rumah dengan pekarangan yang sangat luas itu. Pasti orang tua Sony bukan orang kebanyakan. Mungkin seorang pejabat tinggi atau pelaku bisnis papan atas. Hal itu membuatku ragu. Tapi begitu taksi berhenti di depan pintu pagar rumah megah itu, Roy datang menjemputku. Dengan sopan ia membukakan pintu taksi waktu aku mau turun.
“Temenmu mana?” tanyaku dengan perasaan tak menentu waktu berjalan menuju pintu depan rumah megah itu.
“Lagi keluar dulu,” sahut Roy sambil menggenggam pergelangan tanganku, “Santai aja Mbak. Di sini aku merasa seperti di rumah sendiri.”
“Kita langsung aja ke kamar yang sudah disediakan di atas yok,” ajak Roy sambil menunjuk ke tangga yang menuju lantai dua. Aku menurut saja, meski terasa sikapku serba canggung.
Di dalam salah satu kamar lantai atas, aku mulai merasa tenang. Terlebih setelah Roy menutupkan pintunya.
Pandanganku tertumbuk ke sebuah foto besar berbingkai silver. Foto seorang anak muda di atas sebuah motor Harley Davidson. Tampan sekali anak muda itu. Aku menduganya seorang artis yang belum kuketahui namanya. Tapi Roy menunjuk foto itu sambil menerangkan, “Itulah Sony. Ganteng ya Mbak.”
Aku cuma mengangguk cuek, padahal hatiku berkata, “Ganteng dan sexy sekali temanmu itu….”
Kamar itu ada kamar mandinya. Maka bisikku, “Aku mau pipis dulu ya.”
Roy mengangguk sambil tersenyum. Aku pun masuk ke dalam kamar mandi itu. Bukan cuma mau pipis, tapi sekalian ingin mencuci ku sebersih mungkin. Karena aku yakin ku akan dijilati oleh Roy nanti, jangan sampai ada bau yang kurang sedap, meski sudah disemprot parfum di rumah tadi.
Celana jeans dan BH kugantungkan di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan CD dan t-shirt. Rupanya Roy juga sudah melepaskan celana jeansnya, sama seperti aku, tinggal mengenakan t-shirt dan CD.
Senyum Roy tampak menggoda waktu aku menghampirinya. Lalu memelukku dengan hangat. Dan menciumi pipi serta leherku, lalu melumat bibirku dengan hangat dan membangkitkan gairahku.
Supaya Roy lebih leluasa menikmati kemulusan tubuhku, kulepaskan t-shirtku, sehingga payudaraku yang masih terawat kencang ini tak tertutup apa-apa lagi. Roy pun menanggalkan t-shirtnya. Lalu memelukku dengan hangat dan meraihku ke atas tempat tidur. Aku pun mulai menggelinjang nikmat ketika Roy mulai menjilati puting payudaraku. Tak hanya itu, lidahnya mulai menjilati pusar perutku dan turun terus, sampai akhirnya kemaluanku mulai dijilatinya dengan penuh semangat. Aku pun mulai menggeliat-geliat dalam arus kenikmatan, sambil merengek lirih,“Roy…oooh…ini enak sekali sayang…kamu be…belajar dari siapa sih…kok pintar amat kamu main emut begini…?”
“Belajar dari film bokep,” sahut Roy sambil menghentikan jilatannya sesaat, lalu menyedot-nyedot kelentitku membuatku mendesah-desah lagi dalam nikmat.
“Udah Roy…masukin aja….cepet…aku pengen melepas kangenku sama t*t*tmu yang gagah itu…” pintaku sambil menarik bahu Roy agar naik ke atas tubuhku.
Roy mengikuti ajakanku. Ia mulai mengarahkan batang kemaluannya ke mulut ku. Aku pun membantunya, merenggangkan pahaku sambil memegang batang kemaluan Roy dan menekankan puncaknya pas di mulut veggyku. Lalu aku mengedipkan mata, sebagai tanda agar ia mulai mendorong…dan…aaah…batang kemaluan Roy mulai melesak dengan mantapnya ke dalam liang kemaluanku!
Tapi setelah mulai menggeser-geserkan zakarnya maju mundur dalam liang kenikmatanku, ia berkata terengah, “Mbak jangan marah ya…sebenarnya Sony ada di rumah ini. Dia ingin nonton kita Mbak…”
“Apa?” aku kaget, tatapanku tertuju ke foto besar yang terpampang di dinding itu. Foto anak muda yang tampan itu, “terus kalau dia ngiler nanti gimana? Kamu kok ada-ada aja.”
Nada ucapanku seperti protes. Tapi diam-diam aku teringat pada peristiwa main bertiga dengan Rendy. Apakah pagi ini akan terjadi kisah yang mirip itu?
“Dia orang sopan Mbak. Dia hanya ingin nonton. Tapi…kalau dia gak tahan dan ingin ikutan, mainin aja nya sama tangan Mbak…itu juga kalau Mbak gak keberatan. Pokoknya aku jamin tidak akan ada pemaksaan, Mbak.” Roy mulai mengenjot nya dengan gerakan syur, yang membuatku mulai terpejam-pejam.
“Nggak tau ah…” sahutku pura-pura tidak suka. Tapi diam-diam khayalanku mulai melambung…membayangkan sesuatu yang luar biasa indahnya.
“Dia menunggu izin Mbak untuk masuk ke kamar ini. Izinkan jangan?” tanya Roy sambil menghentikan gerakannya sejenak.
“Terserah kamu aja lah,” sahutku dingin. Padahal diam-diam aku ingin melihat apakah Sony itu setampan wajah di foto itu?
Tanpa menghentikan genjotan nya, Roy berseru, “Sony! Come on…!”
Aku rada degdegan juga ketika kudengar pintu dibuka. Soalnya aku dalam keadaan begini, keadaan telanjang bulat dan sedang disetubuhi oleh adik iparku.
Lalu tampak seorang anak muda tinggi semampai dengan wajah, Oh my God…! Tampan sekali cow

Awal liarnya istriku. There are any Awal liarnya istriku in here.

Cerita ini terjadi beberapa tahun yang lalu, dimana saat itu saya sedang dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Saya masih duduk di kelas 2 SMA pada saat itu. Dan dalam urusan asmara, khususnya "bercinta" saya sama sekali belum memiliki pengalaman berarti. Saya tidak tahu bagaimana memulai cerita ini, karena semuanya terjadi begitu saja. Tanpa kusadari, ini adalah awal dari semua pengalaman asmaraku sampai dengan saat ini.

Sebut saja nama wanita itu Ira, karena jujur saja saya tidak tahu siapa namanya. Ira adalah seorang suster rumah sakit dimana saya dirawat. Karena terjangkit gejala pengakit hepatitis, saya harus dirawat di Rumah sakit selama beberapa hari. Selama itu juga Ira setiap saat selalu melayani dan merawatku dengan baik. Orang tuaku terlalu sibuk dengan usaha pertokoan keluarga kami, sehingga selama dirumah sakit, saya lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri, atau kalau pas kebetulan teman-temanku datang membesukku saja.

Yang kuingat, hari itu saya sudah mulai merasa agak baikkan. Saya mulai dapat duduk dari tempat tidur dan berdiri dari tempat tidur sendiri. Padahal sebelumnya, jangankan untuk berdiri, untuk membalikkan tubuh pada saat tidurpun rasanya sangat berat dan lemah sekali. Siang itu udara terasa agak panas, dan pengap. Sekalipun ruang kamarku ber AC, dan cukup luas untuk diriku seorang diri. Namun, saya benar-benar merasa pengap dan sekujur tubuhku rasanya lengket. Yah, saya memang sudah beberapa hari tidak mandi. Maklum, dokter belum mengijinkan aku untuk mandi sampai demamku benar-benar turun.

Akhirnya saya menekan bel yang berada disamping tempat tidurku untuk memanggil suster. Tidak lama kemudian, suster Ira yang kuanggap paling cantik dan paling baik dimataku itu masuk ke kamarku.
"Ada apa Dik?" tanyanya ramah sambil tersenyum, manis sekali.
Tubuhnya yang sintal dan agak membungkuk sambil memeriksa suhu tubuhku membuat saya dapat melihat bentuk payudaranya yang terlihat montok dan menggiurkan.
"Eh, ini Mbak. Saya merasa tubuhku lengket semua, mungkin karena cuaca hari ini panas banget dan sudah lama saya tidak mandi. Jadi saya mau tanya, apakah saya sudah boleh mandi hari ini mbak?", tanyaku sambil menjelaskan panjang lebar.
Saya memang senang berbincang dengan suster cantik yang satu ini. Dia masih muda, paling tidak cuma lebih tua 4-5 tahun dari usiaku saat itu. Wajahnya yang khas itupun terlihat sangat cantik, seperti orang India kalau dilihat sekilas.
"Oh, begitu. Tapi saya tidak berani kasih jawabannya sekarang Dik. Mbak musti tanya dulu sama Pak dokter apa adik sudah boleh dimandiin apa belum", jelasnya ramah.

Mendengar kalimatnya untuk "memandikan", saya merasa darahku seolah berdesir keatas otak semua. Pikiran kotorku membayangkan seandainya benar Mbak Ira mau memandikan dan menggosok-gosok sekujur tubuhku. Tanpa sadar saya terbengong sejenak, dan batang kontolku berdiri dibalik celana pasien rumah sakit yang tipis itu.
"Ihh, kamu nakal deh mikirnya. Kok pake ngaceng segala sih, pasti mikir yang ngga-ngga ya. hi hi hi".
Mbak Ira ternyata melihat reaksi yang terjadi pada penisku yang memang harus kuakui sempat mengeras sekali tadi. Saya cuma tersenyum menahan malu dan menutup bagian bawah tubuhku dengan selimut.
"Ngga kok Mbak, cuma spontanitas aja. Ngga mikir macem-macem kok", elakku sambil melihat senyumannya yang semakin manis itu.
"Hmm, kalau memang kamu mau merasa gerah karena badan terasa lengket Mbak bisa mandiin kamu, kan itu sudah kewajiban Mbak kerja disini. Tapi Mbak bener-bener ngga berani kalau Pak dokter belum mengijinkannya", lanjut Mbak Ira lagi seolah memancing gairahku.
"Ngga apa-apa kok mbak, saya tahu Mbak ngga boleh sembarangan ambil keputusa" jawabku serius, saya tidak mau terlihat "nakal" dihadapan suster cantik ini. Lagi pula saya belum pengalaman dalam soal memikat wanita.

Suster Ira masih tersenyum seolah menyimpan hasrat tertentu, kemudian dia mengambil bedak Purol yang ada diatas meja disamping tempat tidurku.
"Dik, Mbak bedakin aja yah biar ngga gerah dan terasa lengket", lanjutnya sambil membuka tutup bedak itu dan melumuri telapak tangannya dengan bedak.
Saya tidak bisa menjawab, jantungku rasanya berdebar kencang. Tahu-tahu, dia sudah membuka kancing pakaianku dan menyingkap bajuku. Saya tidak menolak, karena dibedakin juga bisa membantu menghilangkan rasa gerah pikirku saat itu. Mbak Ira kemudian menyuruhku membalikkan badan, sehingga sekarang saya dalam keadaan tengkurap diatas tempat tidur.

Tangannya mulai terasa melumuri punggungku dengan bedak, terasa sejuk dan halus sekali. Pikiranku tidak bisa terkontrol, sejak dirumah sakit, memang sudah lama saya tidak membayangkan hal-hal tentang seks, ataupun melakukan onani sebagaimana biasanya saya lakukan dirumah dalam keadaan sehat. Kontolku benar-benar berdiri dan mengeras tertimpa oleh tubuhku sendiri yang dalam keadaan tenglungkup. Rasanya ingin kugesek-gesekkan kontolku di permukaan ranjang, namun tidak mungkin kulakukan karena ada Mbak Ira saat ini. fantasiku melayang jauh, apalagi sesekali tangannya yang mungil itu meremas pundakku seperti sedang memijat. Terasa ada cairan bening mengalir dari ujung kontolku karena terangsang.

Beberapa saat kemudian Mbak Ira menyuruhku membalikkan badan. Saya merasa canggung bukan main, karena takut dia kembali melihat kontolku yang ereksi.
"Iya Mbak..", jawabku sambil berusaha menenangkan diri, sayapun membalikkan tubuhku.
Kini kupandangi wajahnya yang berada begitu dekat denganku, rasanya dapat kurasakan hembusan nafasnya dibalik hidung mancungnya itu. Kucoba menekan perasaan dan pikiran kotorku dengan memejamkan mata.
Sekarang tangannya mulai membedaki dadaku, jantungku kutahan sekuat mungkin agar tidak berdegup terlalu kencang. Saya benar-benar terangsang sekali, apalagi saat beberapa kali telapak tangannya menyentuh putingku.
"Ahh, geli dan enak banget", pikirku.
"Wah, kok jadi keras ya? he he he", saya kaget mendengar ucapannya ini.
"Ini loh, putingnya jadi keras.. kamu terangsang ya?"

Mendengar ucapannya yang begitu vulgar, saya benar-benar terangsang. Kontolku langsung berdiri kembali bahkan lebih keras dari sebelumnya. Tapi saya tidak berani berbuat apa-apa, cuma berharap dia tidak melihat kearah kontolku. Saya cuma tersenyum dan tidak bicara apa-apa. Ternyata Mbak Ira semakin berani, dia sekarang bukan lagi membedaki tubuhku, melainkan memainkan putingku dengan jari telunjuknya. Diputar-putar dan sesekali dicubitnya putingku.
"Ahh, geli Mbak. Jangan digituin", kataku menahan malu.
"Kenapa? Ternyata cowok bisa terangsang juga yah kalau putingnya dimainkan gini", lanjutnya sambil melepas jari-jari nakalnya.
Saya benar-benar kehabisan kata-kata, dilema kurasakan. Disatu sisi saya ingin terus di"kerjain" oleh Mbak Ira, satu sisi saya merasa malu dan takut ketahuan orang lain yang mungkin saja tiba-tiba masuk.

"Dik Iwan sudah punya pacar?", tanya Mbak Ira kepadaku.
"Belum Mbak", jawabku berdebar, karena membayangkan ke arah mana dia akan berbicara.
"Dik Iwan, pernah main sama cewek ngga?", tanyanya lagi.
"Belum mbak" jawabku lagi.
"hi.. hi.. hi.. masa ngga pernah main sama cewek sih", lanjutnya centil.
Aduh pikirku, betapa bodohnya saya bisa sampai terjebak olehnya. Memangnya "main" apaan yang saya pikirkan barusan. Pasti dia berpikir saya benar-benar "nakal" pikirku saat itu.
"Pantes deh, de Iwan dari tadi Mbak perhatiin ngaceng terus, Dik Iwan mau main-main sama Mbak ya?
Wow, nafsuku langsung bergolak. Saya cuma terbengong-bengong. Belum sempat saya menjawab, Mbak Ira sudah memulai aksinya. Dicumbuinya dadaku, diendus dan ditiup-tiupnya putingku. Terasa sejuk dan geli sekali, kemudian dijilatnya putingku, dan dihisap sambil memainkan putingku didalam mulutnya dengan lidah dan gigi-gigi kecilnya.
"Ahh, geli Mbak"m rintihku keenakan.

Kemudian dia menciumi leherku, telingaku, dan akhirnya mulutku. Awalnya saya cuma diam saja tidak bisa apa-apa, setelah beberapa saat saya mulai berani membalas ciumannya. Saat lidahnya memaksa masuk dan menggelitik langit-langit mulutku, terasa sangat geli dan enak, kubalas dengan memelintir lidahnya dengan lidahku. Kuhisap lidahnya dalam-dalam dan mengulum lidahnya yang basah itu. Sesekali saya mendorong lidahku kedalam mulutnya dan terhisap oleh mulutnya yang merah tipis itu. Tanganku mulai berani, mulai kuraba pinggulnya yang montok itu. Namun, saat saya mencoba menyingkap rok seragam susternya itu, dia melepaskan diri.
"Jangan di sini Dik, ntar kalau ada yang tiba-tiba masuk bisa gawat", katanya.
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menuntunku turun dari tempat tidur dan berjalan masuk ke kamar mandi yang terletak disudut kamar.

Di dalam kamar mandi, dikuncinya pintu kamar mandi. Kemudian dia menghidupkan kran bak mandi sehingga suara deru air agak merisik dalam ruang kecil itu. Tangannya dengan tangkas menanggalkan semua pakaian dan celanaku sampai saya telangjang bulat. Kemudian dia sendiripun melepas topi susternya, digantungnya di balik pintu, dan melepas beberapa kancing seragamnya sehingga saya sekarang dapat melihat bentuk sempurna payudaranya yang kuning langsat dibalik Bra-nya yang berwarna hitam. Kami pun melanjutkan cumbuan kami, kali ini lebih panas dan bernafsu. Saya belum pernah berciuman dengan wanita, namun Mbak Ira benar-benar pintar membimbingku. Sebentar saja sudah banyak jurus yang kepelajari darinya dalam berciuman. Kulumat bibirnya dengan bernafsu. Kontolku yang berdiri tegak kudekatkan kepahanya dan kugesek-gesekkan. Ahh enak sekali. Tanganku pun makin nekat meremas dan membuka Bra-nya. Kini dia sudah bertelanjang dada dihadapanku, kuciumi puting susunya, kuhisap dan memainkannya dengan lidah dan sesekali menggigitnya.
"Yes, enak.. ouh geli Wan, ah.. kamu pinter banget sih", desahnya seolah geram sambil meremas rambutku dan membenamkannya ke dadanya.

Kini tangannya mulai meraih kontolku, digenggamnya. Tersentak saya dibuatnya. Genggamannya begitu erat, namun terasa hangat dan nikmat. Saya pun melepas kulumanku di putingnya, kini kududuk diatas closet sambil membiarkan Mbak Ira memainkan kontolku dengan tangannya. Dia jongkok mengahadap selangkanganku, dikocoknya kontolku pelan-pelan dengan kedua tangannya.
"Ahh, enak banget Mbak.. asik.. ahh.. ahh..", desahku menahan agar tidak menyemburkan maniku cepat-cepat.
Kuremas payudaranya saat dia terus mengocok kontolku, sekarang kulihat dia mulai menyelipkan tangan kirinya diselangkannya sendiri, digosok-gosoknya tangannya ke arah memeknya sendiri. Melihat aksinya itu saya benar-benar terangsang sekali. Kujulurkan kakiku dan ikut memainkan memeknya dengan jempol kakiku. Ternyata dia tidak mengelak, dia malah melepas celana dalamnya dan berjongkok tepat diatas posisi kakiku.

Kami saling melayani, tangannya mengocok kontolku pelan sambil melumurinya dengan ludahnya sehingga makin licin dan basah, sementara saya sibuk menggelitik memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu keriting itu dengan kakiku. Terasa basah dan sedikit becek, padahal saya cuma menggosok-gosok saja dengan jempol kaki.
"Yes.. ah.. nakal banget kamu Wan.. em, em, eh.. enak banget", desahnya keras.
Namun suara cipratan air bak begitu keras sehingga saya tidak khawatir didengar orang. Saya juga membalas desahannya dengan keras juga.
"Mbak Ira, sedotin kontol saya dong.. please.. saya kepingin banget", pintaku karena memang sudah dari tadi saya mengharapkan sedotan mulutnya di kontolku seperti adegan film BF yang biasa kutonton.
"Ih.. kamu nakal yah", jawabnya sambil tersenyum.
Tapi ternyata dia tidak menolak, dia mulai menjilati kepala kontolku yang sudah licin oleh cairan pelumas dan air ludahnya itu. Saya cuma bisa menahan nafas, sesaat gerakan jempol kakiku terhenti menahan kenikmatan yang sama sekali belum pernah kurasakan sebelumnya.

Dan tiba-tiba dia memasukkan kontolku ke dalam mulutnya yang terbuka lebar, kemudian dikatupnya mulutnya sehingga kini kontolku terjepit dalam mulutnya, disedotnya sedikit batang kontolku sehingga saya merasa sekujur tubuhku serasa mengejang, kemudian ditariknya kontolku keluar.
"Ahh.. ahh..", saya mendesah keenakkan setiap kali tarikan tangannya dan mulutnya untuk mengeluarkan kontolku dari jepitan bibirnya yang manis itu.
Kupegang kepalanya untuk menahan gerakan tarikan kepalanya agar jangan terlalu cepat. Namun, sedotan dan jilatannya sesekali disekeliling kepala kontolku didalam mulutnya benar-benar terasa geli dan nikmat sekali.
Tidak sampai diulang 10 kali, tiba-tiba saya merasa getaran di sekujur batang kontolku. Kutahan kepalanya agar kontolku tetap berada dsidalam mulutnya. Seolah tahu bahwa saya akan segera "keluar", Mbak Ira menghisap semakin kencang, disedot dan terus disedotnya kontolku. Terasa agak perih, namun sangat enak sekali.
"AHH.. AHH.. Ahh.. ahh", teriakku mendadak tersemprot cairan mani yang sangat kental dan banyak karena sudah lama tidak dikeluarkan itu kedalam mulut Mbak Ira.

Dia terus memnghisap dan menelan maniku seolah menikmati cairan yang kutembakkan itu, matanya merem-melek seolah ikut merasakan kenikmatan yang kurasakan. Kubiarkan beberapa saat kontolku dikulum dan dijilatnya sampai bersih, sampai kontolku melemas dan lunglai, baru dilepaskannya sedotannya. Sekarang dia duduk di dinding kamar mandi, masih mengenakan pakaian seragam dengan kancing dan Bra terbuka, ia duduk dan mengangkat roknya ke atas, sehingga kini memeknya yang sudah tidak ditutupi CD itu terlihat jelas olehku. Dia mebuka lebar pahanya, dan digosok-gosoknya memeknya dengan jari-jari mungilnya itu. Saya cuma terbelalak dan terus menikmati pemandangan langka dan indah ini. Sungguh belum pernah saya melihat seorang wanita melakukan masturbasi dihadapanku secara langsung, apalagi wanita itu secantik dan semanis Mbak Ira. Sesaat kemudian kontolku sudah mulai berdiri lagi, kuremas dan kukocok sendiri kontolku sambil tetap duduk di atas toilet sambil memandang aktifitas "panas" yang dilakukan Mbak Ira. Desahannya memenuhi ruang kamar mandi, diselingi deru air bak mandi sehingga desahan itu menggema dan terdengar begitu menggoda.

Saat melihat saya mulai ngaceng lagi dan mulai mengocok kontol sendiri, Mbak Ira tampak semakin terangsang juga.
Tampak tangannya mulai menyelip sedikit masuk kedalam memeknya, dan digosoknya semakin cepat dan cepat. Tangan satunya lagi memainkan puting susunya sendiri yang masih mengeras dan terlihat makin mancung itu.
"Ihh, kok ngaceng lagi sih.. belum puas ya..", canda Mbak Ira sambil mendekati diriku.
Kembali digenggamnya kontolku dengan menggunakan tangan yang tadi baru saja dipakai untuk memainkan memeknya. Cairan memeknya di tangan itu membuat kontolku yang sedari tadi sudah mulai kering dari air ludah Mbak Ira, kini kembali basah. Saya mencoba membungkukkan tubuhku untuk meraih memeknya dengan jari-jari tanganku, tapi Mbak Ira menepisnya.
"Ngga usah, biar cukup Mbak aja yang puasin kamu.. hehehe", agak kecewa saya mendengar tolakannya ini.
Mungkin dia khawatir saya memasukkan jari tanganku sehingga merusak selaput darahnya pikirku, sehingga saya cuma diam saja dan kembali menikmati permainannya atas kontolku untuk kedua kalinya dalam kurun waktu 10 menit terakhir ini.

Kali ini saya bertahan cukup lama, air bak pun sampai penuh sementara kami masih asyik "bermain" di dalam sana. Dihisap, disedot, dan sesekali dikocoknya kontolku dengan cepat, benar-benar semua itu membuat tubuhku terasa letih dan basah oleh peluh keringat. Mbak Ira pun tampak letih, keringat mengalir dari keningnya, sementara mulutnya terlihat sibuk menghisap kontolku sampai pipinya terlihat kempot. Untuk beberapa saat kami berkonsentrasi dengan aktifitas ini. Mbak Ira sunggu hebat pikirku, dia mengulum kontolku, namun dia juga sambil memainkan memeknya sendiri.

Setelah beberapa saat, dia melepaskan hisapannya.
Dia merintih, "Ah.. ahh.. ahh.. Mbak mau keluar Wan, Mbak mau keluar", teriaknya sambil mempercepat gosokan tangannya.
"Sini mbak, saya mau menjilatnya", jawabku spontan, karena teringat adegan film BF dimana pernah kulihat prianya menjilat memek wanita yang sedang orgasme dengan bernafsu.
Mbak Ira pun berdiri di hadapanku, dicondongkannya memeknya ke arah mulutku.
"Nih.. cepet hisap Wan, hisap..", desahnya seolah memelas.

Langsung kuhisap memeknya dengan kuat, tanganku terus mengocok kontolku. Aku benar-benar menikmati pengalaman indah ini. Beberapa saat kemudian kurasakan getaran hebat dari pinggul dan memeknya. Kepalaku dibenamkannya ke memeknya sampai hidungku tergencet diantara bulu-bulu jembutnya. Kuhisap dan kusedot sambil memainkan lidahku di seputar kelentitnya.
"Ahh.. ahh..", desah Mbak Ira disaat terakhir berbarengan dengan cairan hangat yang mengalir memenuhi hidung dan mulutku, hampir muntah saya dibuatnya saking banyaknya cairan yang keluar dan tercium bau amis itu.
Kepalaku pusing sesaat, namun rangsangan benar-benar kurasakan bagaikan gejolak pil ekstasi saja, tak lama kemudian sayapun orgasme untuk kedua kalinya. Kali ini tidak sebanyak yang pertama cairan yang keluar, namun benar-benar seperti membawaku terbang ke langit ke tujuh.

Kami berdua mendesah panjang, dan saling berpelukkan. Dia duduk diatas pangkuanku, cairan memeknya membasahi kontolku yang sudah lemas. Kami sempat berciuman beberapa saat dan meninggalkan beberapa pesan untuk saling merahasiakan kejadian ini dan membuat janji dilain waktu sebelum akhirnya kami keluar dari kamar mandi. Dan semuanya masih dalam keadaan aman-aman saja.

Mbak Ira, adalah wanita pertama yang mengajariku permainan seks. Sejak itu saya sempat menjalin hubungan gelap dengan Mbak Ira selama hampir 2 tahun, selama SMA saya dan dia sering berjanji bertemu, entah di motel ataupun di tempat kostnya yang sepi. Keperjakaanku tidak hanya kuberikan kepadanya, tapi sebaliknya keperawanannya pun akhirnya kurenggut setelah beberapa kali kami melakukan sekedar esek-esek.

Kini saya sudah kuliah di luar kota, sementara Mbak Ira masih kerja di Rumah sakit itu. Saya jarang menanyakan kabarnya, lagi pula hubunganku dengannya tidak lain hanya sekedar saling memuaskan kebutuhan seks. Konon, katanya dia sering merasa "horny" menjadi perawat. Begitu pula pengakuan teman-temannya sesama suster. Saya bahkan sempat beberapa kali bercinta dengan teman-teman Mbak Ira. Pengalaman masuk rumah sakit, benar-benar membawa pengalaman indah bagi hidupku, paling tidak masa mudaku benar-benar nikmat. Mbak Ira, benar-benar fantastis menurutku..

Sampai jumpa di kisah yang lain

Mbak Ira Suster Cantikku. There are any Mbak Ira Suster Cantikku in here.

So the story begins......

“CUT...CUT....Nice work everyone. Syuting hari ini sampai disini. Terima kasih. Besok kita ketemu lagi di set yang berikutnya OK.”, kata sang sutradara yang segera disambut meriah oleh seluruh artis dan krew film yang terlibat.

Marshanda yang menjadi pemeran utama dalam syuting sinetron Bidadari itu pun bernafas lega. Gadis remaja yang cantik itu mengusap peluh yang sedikit membasahi peluhnya. Marshanda duduk beristirahat di bangkunya sambil menikmati es jeruk, melepas lelah setelah syuting seharian mulai dari waktu pulang sekolah. Tas sekolah pun masih dia bawa, bahkan Marshanda pergi ketempat syuting masih mengenakan seragam sekolahnya. Hhmmm siapa bilang jadi artis itu gampang? Capeknya gak kalah sama kerja lainnya.

“Cha, kamu gak dijemput mama kamu?”, tanya sang sutradara pada artis belia itu.
“Nggak, Oom. Mama sama keluarga yang lainnya lagi ketempat nenek. Kemarin ada telpon katanya nenek Chacha sakit.”, jawab Marshanda.
“Oooh, tapi nenek kamu nggak apa-apa khan?”
“Nggak apa-apa sih Oom. Paling cuma masuk angin atau apalah. Biasanya kalo kangen sama keluarganya, nenek suka sakit, biar ditengokin. Ntar kalo semua udah ngumpul disana, sakitnya sembuh deh.”
“Itu mah kangen keluarga, bukannya sakit. Ya, udah biar kamu pulang diantar sama Raj Kumar aja. Biar dia nggak cuma makan gaji buta aja.”
“Oh nggak usah Oom. Biar Chacha naik taksi aja.”
“Eh, jangan. Sekarang khan udah malem. Bahaya buat kamu naik taksi sendirian malem-malem gini di Jakarta. Udah biar si Kumar yang nganter kamu. HOOII KUMAR.... SINI LOE.”

Seorang laki-laki setengah baya berbadan tinggi besar segera berlari menghampiri Marshanda dan sutradara. Laki-laki itu keturunan India, maklum masih ada hubungan saudara sama pemilik PH, Ram Punjabi. Bahkan karena hubungan keluarga itulah, Raj Kumar bisa bekerja disini. Tanpa skill atau pengetahuan apapun di bidang perfilman, Raj Kumar pun ditempatkan di seksi umum dengan job deskription yang serabutan, sekedar bantu sana bantu sini.

Marshanda agak kurang suka sama lelaki yang satu ini. Nggak bisa apa-apa tapi sok banget. Crew lain pun juga nggak suka. Nggak bisa apa-apa, tapi gayanya sok banget.Untungnya dia masih ada hubungan saudara sama si Boss, jadi krew lain nggak berani negor tingkahnya. Selain itu Marshanda suka serem kalo ngeliat dia. Badan tinggi besar, berowokan, tangan dan kakinya penuh bulu, sepintas mengingatkan Marshanda akan Gorilla raksasa.

“Ada apa nih? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Raj Kumar dengan mata jelalatan melihat Marshanda, gadis remaja yang cantik yang sering kali menghiasi pikiran dan khayalan kotornya.
“Eh, kamu tolong antar Chacha pulang kerumahnya ya. Dia nggak ada yang jemput soalnya semua keluarganya lagi pergi kerumah neneknya.”
“Eh... gak usah Oom. Terima kasih. Biar chacha pulang naik taksi aja.”, tolak Marshanda.
“Udah biar Oom Kumar aja yang ngantar kamu. Bahaya naek taksi malem-malem gini. Oom nggak keberatan kok.”, jawab Raj Kumar.
“Iya Cha. Sekarang biar si Kumar yang nganter kamu. Entar kalo kamu naek taksi, trus ada apa-apa, saya yang disalahkan sama keluarga kamu.”, imbuh sang sutradara.

Akhirnya dengan agak berat hati, Marshanda pun meng-iyakan tawaran tersebut. Marshanda pun segera naik ke mobil Raj Kumar, dan mobil itu pun segera berlalu dari lokasi syuting.

......................

“Capek ya Cha? Gimana kalo kita makan-makan dulu? Oom tahu restoran yang masakannya enak banget.”, tanya Raj Kumar sambil tersenyum. (Senyum menjijikkan pikir Marshanda)
“Nggak usah Oom. Terima kasih. Tapi Chacha nggak laper. Anterin Chacha pulang aja.”, tolak Marshanda.
“Ooohhh.... ya udah deh. Eh kamu udah dapet skenario yang buat besok nggak?”
“Udah Oom.”
“Kapan kamu dikasih skenario itu?”
“Kemaren lusa. Mbak Lusi yang ngasih.”
“Lho kemaren lusa?? Kamu nggak denger kalo skenarionya ada perubahan. Kemaren si penulis naskah mengganti sebagian dialognya. Kalo skenario yang kamu punya itu dikasih kemaren lusa berarti itu skenario yang lama, bukan yang udah direvisi kemaren.”
“Eh, masa sih. Kok nggak ada yang ngasih tau Chacha sih?”
“Mungkin Lusi lupa ngasih ke kamu. Tadi dia kan nggak masuk. Oh ya Oom punya copiannya di rumah. Kamu bawa aja.”
Marshanda agak ragu nge-jawabnya. Dia butuh skrip yang baru, tp artinya dia harus kerumah orang ini dulu. Entah kenapa Marshanda merasa gak enak harus kerumah Raj Kumar.
“Besok kita langsung syuting setelah loe pulang sekolah. Kalo kamu nggak baca skrip yang baru sekarang, ntar kamu nggak bisa menjiwai karakter kamu lho. Kita mampir sebentar ke rumah oom buat ngambil skrip itu, trus Oom langsung antar kamu puloang. Gimana?”
“Eeng...Iya deh. Tapi nanti langsung antar Chacha pulang ya? Takut kemaleman.”
“Iya, kamu tenang aja.”, jawab Raj Kumar sambil tersenyum mencurigakan.

.........................

Mobil Raj Kumar akhirnya memasuki halaman parkir sebuah rumah yang cukup mewah di salah satu kawasan perumahan elit di jakarta. Raj Kumar segera turun dari mobil, lalu mengajak Marshanda masuk kerumahnya. Dia meminta Marshanda untuk membantu mencari naskah itu karena dia menaruhnya diantara tumpukan berkas yang lain. Marshanda pun mengikuti ajakan Raj Kumar. Lebih cepat urusan ini diselesaikan. Lebih baik pikir Marshanda dalam hati.

“Sini, Cha. Skripnya ada di sini. Kamu cari aja di tumpukan kertas di meja itu. Oom mau ke kamar dulu.
Marshanda memasuki ruangan yang keliatannya seperti ruang menonton televisi atau film. Fasilitas Home Theatre terlihat di satu sisi kamar. Di sisi lainnya ada sofa besar. Di sebelah sofa itu, ada meja yang diatasnya ada tumpukan kertas yang berantakan. Marshanda segera menghampiri meja itu dan mulai mencari skrip baru yang dibutuhkannya. Sedangkan Raj Kumar pergi ke kamarnya yang terletak di sebelah ruangan itu.

“Sudah ketemu Cha?”, tanya Raj Kumar.
“Belum, Oom. Dimana sih Oom nar....”, jawaban Marshanda terhenti setelah memperhatikan keadaaan sekitarnya. Dia melihat Raj Kumar duduk di sofa besar itu dengan mengenakan piyama. Gelagat tidak enak segera menyergap pikiran Marshanda. Dia segera beranjak menghampiri pintu ruangan itu yang sekarang dalam keadaan tertutup. Marshanda mencoba membuka pintu, tapi tak berhasil. Pintu itu terkunci. Rasa takut segera memenuhi perasaan Marshanda.

“Chacha mau pulang Oom. Tolong oom bukain pintunya. Chacha mau pulang. Sekarang.”
“He...he...he...Kenapa buru-buru Cha? Kita santai aja disini dulu.”, jawab Raj Kumar sambil bergerak perlahan mendekati gadis remaja yang ketakutan itu.

Raj Kumar perlahan mendekati Marshanda. Langkahnya perlahan tapi pasti, membuat Marshanda tak bisa bergerak melarikan diri. Marshanda seperti kelinci mungil yang ketakutan menghadapi hewan buas yang akan memangsanya. Senyum Raj Kumar makin melebar melihat calon mangsanya itu, gadis belia cantik yang sering menghinggapi mimpi-mimpi kotornya. Dan tak lama lagi segala angan-angan kotornya itu akan terwujud.

“Chacha mau pulang Oom. TOLONG...TOLONG.....”, teriak Marshanda. Kepanikan mulai melanda dirinya. Tangannya berusaha membuka kenop pintu, tapi pintu itu tetap tak mau terbuka.
“Percuma saja kamu teriak terus. Hanya bikin bibir kamu yang indah jadi capek he..he... Ini ruang Home Theathre yang sengaja dilapisi peredam suara. Jadi walaupun kamu teriak sekenceng-kencengnya, kagak bakalan ada yang denger.”, kata Raj Kumar sambil berusaha memeluk tubuh Marshanda.
“Eeh...i..ini.. Oom mau apa? le..lepasin Chacha Oom. Lepas.. uukh..lepasin Chacha Oom”, rengek Marshanda.

Marshanda berusaha memberontak dari dekapan Raj Kumar. Tapi apalah daya tenaga seorang gadis melawan raksasa ini. Airmata mulai menggenangi mata bintang artis remaja itu. Walaupun Marshanda masih remaja dan belum pernah pacaran tapi dia tahu betul nasib apa yang akan menimpa dirinya. Sepasang tangan berbulu lelaki India itu segera memegang kedua tangan Marshanda. Tangan Marshanda kemudian ditelikung dibelakang punggungnya sendiri, lalu diikat dengan sapu tangan yang agaknya sudah dipersiapkan Raj Kumar untuk menjalankan aksinya. Kemudian Raj Kumar membopong tubuh Marshanda lalu diletakkan di sofa besar yang ada di ruangan itu. Raj Kumar lalu duduk juga disamping Marshanda yang mulai menangis meminta dilepaskan.

“Hiks..hiiks... tolong lepasin Chacha Oom. Ka..kalo Oom mau uang, berapa saja nanti Chacha kasih, tapi hiks.. tolong lepasin Chacha Oom.”
“Aku sama sekali gak butuh uang, sayang. Kalo butuh uang, aku tinggal minta sama bos kamu, saudaraku yang tercinta itu. Yang aku butuhkan adalah hangatnya tubuh indah kamu, anak manis he.. he... he....”

Sambil terkekeh girang, Raj Kumar mulai menjalankan aksinya. Salah satu kakinya ditumpangkan ke atas paha Marshanda agar gadis itu tak bisa bangun dari sofa. Salah satu tangannya merangkul tubuh gadis belia itu agar tetap bersandar di bantalan sofa. Sehingga tangan yang lainnya bisa bebas membuka kancing seragam sekolah yang dikenakan Marshanda. Tampaknya hari itu memang hari keberuntungan Raj Kumar karena Marshanda hari itu mengenakan beha dengan pengait pembuka di bagian depan. Jemari Raj Kumar pun langsung membuka pengait beha chacha hingga tubuh bagian depan artis remaja itu kini terbuka bebas di depan mata Raj Kumar yang seperti keranjang ( emang laki-laki mata keranjang itu matanya kaya keranjang ya he he he ).

Mata Raj Kumar pun semakin bersinar penuh nafsu saat melihat payudara artis belia yang cantik itu. Payudara Marshanda memang masih kecil mengingat usianya yang remaja. Tapi hal itu tak mengurangi keindahannya. Kencang dengan putting coklat muda yang terlihat menantang. Bibir Raj Kumar pun segera melahap payudara mungil itu. Putingnya ia permainkan dengan ujung lidah, sesekali bahkan dihisap dengan kuat.

“Huu..huu..jangan Oom. Lepasin Chacha Oom hu.. hu.. Chacha gak ma....uukh...”

Marshanda masih menangis. Dia benci dengan lelaki jahanam ini. Sebelumnya belum pernah ada laki-laki yang melihat dada telanjangnya. Bajingan ini bahkan dengan kurang ajarnya berani mempermainkannya dengan mulutnya. Pada mulanya Marshanda hanya merasa jijik atas perlakuan Raj Kumar di payudaranya itu. Dia hanya merasa agak geli. Tapi lama-lama rasa geli itu mengakibatkan sesuatu yang lain dirasakan oleh Marshanda. Jilatan-jilatan lidah kasar Raj Kumar yang menyapu seluruh bagian buah dadanya itu terutama di putingnya, hisapan bibirnya yang kuat seakan menarik putingnya, serta cambang dan kumis Raj Kumar yang bergesekan dengan kulit payudaranya yang sensitif itu, lambat laun menimbulkan sensasi lain yang belum pernah dirasakan Marshanda. Desah kenikmatan mulai muncul di sela-sela tangisnya.

“Hentikan Oom... aahh.. ja...sstt..jangan Oom ....”

Mendengar desahan Marshanda, Raj Kumar pun tambah bersemangat. Tangannya mulai bergerilya, membelai paha mulus artis remaja itu di balik rok seragam sekolahnya. Bahkan tangannya mulai nakal mengusap vagina Marshanda yang masih tertutup celana dalam. Raj Kumar pun menyeringai senang saat dia rasakan kelembapan pada celana dalam gadis cantik itu, yang menandakan gejolak birahi yang mulai menghinggapi korbannya.

“He..he..he.. Enak khan Cha. Kamu jangan nangis. Oom nggak akan menyakiti kamu. Oom hanya mau memberikan kenikmatan sama kamu. Dan sebentar lagi kamu akan merasa lebih nikmat ha...ha...ha...”

Raj Kumar pun segera melucuti celana dalam Marshanda, dan dia pun segera terpana melihat keindahan yang ada di depan matanya. Vagina Marshanda masih tampak rapat hingga tanpa memeriksa selaput dara didalamnya, Raj Kumar sudah tahu kalau artis remaja ini masih perawan. Vagina itu baru ditumbuhi bulu-bulu halus yang lembut dan tertata rapi.

Airmata Marshanda masih menetes meratapi nasib yang dia tahu akan menimpa dirinya. Rasa jengah dan malu juga menghinggapi dirinya ketika harta yang selama ini dijaganya kini menjadi tontonan bajingan ini. Tiba-tiba .....

“Uuugh.... sst... stop Oom. Aah.. anu Chacha om apa... in aaah...”

Artis remaja itu tiba-tiba tersentak, tubuhnya menggeliat, ketika bibir Raj Kumar mulai menjilati vaginanya. Sensasi ini baru pertama kalinya dirasakan Marshanda. Marshanda hanya merasakan kegelian di selangkangannya, bukan hanya rasa geli biasa tapi rasa geli yang mengirimkan getaran-getaran birahi ke seluruh syaraf tubuhnya.

Raj Kumar tambah bersemangat meneruskan aksinya. Lidahnya yang besar dan kasar dengan lincah menelusuri lorong-lorong vagina gadis remaja itu. Clitoris mungil Marshanda pun tak luput dari sergapan lidahnya, bahkan terkadang dihisapnya kuat sampai tubuh Marshanda mengejang. Tapi kedua tangan Raj Kumar memegangi kedua paha Marshanda sehingga dia dapat meneruskan aksinya tanpa terganggu rontaan gadis belia itu.

“Aaahh...ampun Oom Ja..aahh.. jangan diterusin Oom. Chacha nggak kuat aahh..”
“Ha..ha..ha... kamu nggak usah pura-pura cantik, kamu pasti merasa nikmat. Kamu suka kalo Oom jilatin memiaw kamu, hisapin itil kamu sampai kamu mendesah nggak karuan ha..ha...”
“Nggak. Aahh... Chacha nggak suka. Sstt.... ja..jangan diterusin Oom. AAAHHH.......”

Tubuh gadis remaja itu mengejang hebat ketika orgasme pertama dalam hidupnya dirasakannya. Raj Kumar dengan rakus menjilati cairan kenikmatan yang mengalir dari lubang surga Marshanda.

Marshanda memejamkan matanya. Tubuhnya lemas setelah mengalami orgasme pertama kali dalam hidupnya. “Inikah kenikmatan seks itu?”, pikir Marshanda. Tapi dibalik rasa nikmat yang baru saja dirasakannya, terselip perasaan sesal, marah dan malu. Marshanda malu dan marah pada dirinya, bagaimana dia bisa merasakan kenikmatan padahal dia sedang diperkosa.
Tiba-tiba Marshanda merasakan ada benda hangat yang menggesek permukaan vaginanya. Mulanya Marshanda membiarkannya karena gesekan-gesekan itu mengirimkan sinyal-sinyal kenikmatan di tubuhnya apalagi saat benda hangat itu juga menggesek clitorisnya. Tapi ketika Chacha merasakan benda hangat itu mulai mencoba menerobos masuk liang vaginanya dia pun membuka matanya. Dia melihat Raj Kumar mencoba memasukkan penisnya ke dalam liang vaginanya. Marshanda kaget dan takut, bagaimana bisa penis raksasa yang besarnya hampir menyamai pergelangan tangan Marshanda itu mau dimasukkan ke dalam vaginanya yang kecil.

“JA..JANGAN OOM. SAKIIT.. AAKHH.. JANGAN OOM.”
“He.. he... he.. tenang saja manis. Pertamanya memang agak sakit, tapi lama-lama nanti kamu pasti menikmatinya dan minta lagi he.. he... he...”

Marshanda menjerit kesakitan, vaginanya terasa perih dan panas ketika benda raksasa itu memaksa masuk ke liang vaginanya. Raj Kumar tak memperdulikan jeritan Marshanda, dia terus memaksakan kepala penisnya masuk ke belahan vagina yang indah itu. Setelah kepala penisnya sudah memasuki liang vagina Marshanda, Raj Kumar berhenti sejenak. Dia melakukan ini agar vagina yang perawan itu agak terbiasa dengan benda asing di dalamnya.

“Uughh, memiaw kamu sempit banget Cha. Enaaakkk he...he...he...”
“Hiks... keluarin Oom. Sakit... aakhh....”

Raj Kumar segera melumat bibir Marshanda agar rengekannya terhenti. Tangannya mulai lagi meremas kedua payudara Artis remaja itu. Kedua putingnya dia permainkan dengan jari-jarinya yang lincah. Raj Kumar mulai melakukan gerakan memompa kecil-kecil dan perlahan, tapi dia tetap menjaga agar penisnya tidak menerobos selaput Marshanda. Raj Kumar ingin agar memiaw Marshanda yang sempit itu terbiasa dulu dengan penisnya, sehingga nanti saat dia memperawani artis belia itu, Marshanda tidak merasa terlalu sakit.

Marshanda menangis tanpa suara. Suara tangisnya tertahan karena bibirnya dilumat bibir Raj Kumar dengan ganas. Lidah Raj Kumar dengan liar menjelajahi mulutnya. Pada mulanya Marshanda hanya merasakan vaginanya perih dan panas ketika penis Raj Kumar mulai melakukan gerakan memompa dengan perlahan. Tapi lama-lama disamping rasa perih yang semakin memudar karena otot vaginanya mulai agak terbiasa, Marshanda juga merasakan kenikmatan karena penis Raj Kumar menggesek-gesek klitorisnya. Dinding vaginanya yang dengan ketat menjepit penis raksasa itu juga mengirim sinyal-sinyal kenikmatan karena gerakan Raj Kumar itu. Putingnya yang dipermainkan Raj Kumar seakan tak mau kalah, memberikan rangsangan yang semakin meningkatkan birahi artis remaja itu. Disamping perasaan marah, sedih, dan malu yang melanda dirinya, Marshanda juga merasa sedikit lega karena perbuatan Raj Kumar itu membuat vaginanya mulai mengeluarkan cairan kenikmatan lagi yang mengurangi rasa perih dan panas yang dirasakannya. Tapi tiba-tiba.....

“AAAKKKHHH....... SAAKKIIT....... ADUUHH......”

Marshanda menjerit kesakitan ketika Raj Kumar memaksa penisnya menerobos selaput dara gadis belia itu. Raj Kumar memaksakan penisnya masuk dalam satu gerakan sampai mentok. Dia melihat masih ada sedikit bagian penisnya yang tidak bisa masuk. Dia mendiamkan dulu gerakan memompanya agar vagina Marshanda terbiasa. Bibirnya kembali melumat bibir ranum artis remaja itu agar teriakannya tak terdengar. Selain itu Raj Kumar sengaja tidak melakukan apa-apa karena dia tidak mau keluar lebih dulu, karena saat dia mengambil keperawanan Marshanda, otot vaginanya menjepit penisnya dengan kuat. Rontaan Marshanda saat penetrasi itu dilakukan membuat vaginanya membuat gerakan meremas dan menyedot penisnya dengan kuat.

“Uuughh.... memiaw kamu nikmat banget Cha. Baru kali ini Oom merasakan vagina yang bisa meremas dan menyedot kaya gini.”
“Huu...hu... hiks... sa..sakit Oom. Lepasin Chacha Oom, sakit...hu...huu..”
“Tenang saja manis. Memang sakit waktu pertama kali, tapi entar pasti enak kok. Oom Janji he...he..”

Setelah berhenti sebentar, Raj Kumar memulai gerakan memompanya, perlahan-lahan dia tarik penisnya sampai hanya ujung kepala penisnya yang tertinggal, lalu dia masukkan lagi penisnya sampai mentok tak bisa maju lagi. Raj Kumar terus melakukan hal itu dengan perlahan sambil bibir dan tangannya yang seakan tak ingin ketinggalan menjelajah lekuk indah tubuh artis belia itu. Bibirnya yang dikelilingi jambang tebal itu bergerak liar, kadang melumat bibir manis Marshanda sampai gadis itu hampir kehabisan nafas, kadang menciumi leher Marshanda, meninggalkan bekas cupang yang memerah kontras dengan kulit Marshanda yang putih mulus, kadang bahkan bibir itu turun sampai ke bagian dada artis belia itu, menghisap gemas putting Marshanda yang kini mengacung makin keras karena rangsangan-rangsangan yang diberikan permainan Raj Kumar.

Marshanda kembali memejamkan mata, berusaha tidak memperdulikan segala apa yang dilakukan Raj Kumar. Tapi apalah daya seorang gadis muda yang sama sekali tak berpengalaman dalam seks terhadap permainan seorang maniak seks yang sangat berpengalaman. Desahan lirih Marshanda mulai terdengar saat birahi kembali menjalari seluruh tubuhnya. Permainan yang ahli dari bibir Raj Kumar yang menjelajah bibir, leher, bahkan menghisap putingnya yang semakin sensitif, gesekan bulu cambang yang kasar di permukaan kulitnya, dan juga gerakan penis Raj Kumar yang besar yang menggetarkan syaraf kenikmatan di seluruh dinding rongga vaginanya, klitorisnya yang terjepit dan tergesek oleh gerakan penis Raj Kumar, memberikan getaran-getaran birahi yang terus menjalar ke seluruh tubuh gadis belia itu.

“Aaahh.....ssstt...aaahh. ...”, desah Marshanda yang dilanda birahi seksual.
“He...he... kamu cantik sekali Cha. memiaw kamu juga enak. Bener2 memiaw paling enak yang pernah Oom ent*t.”

Marshanda tak kuasa meladeni omongan kotor Raj Kumar. Dia sudah tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang baru kali ini dia rasakan. Apalagi Raj Kumar mulai menigkatkan tempo tusukannya saat dia merasakan vagina gadis cantik yang ditindihnya itu bertambah basah dengan cairan kenikmatan. Keringat mulai membasahi tubuh kedua insan yang dilanda birahi itu, padahal ruangan itu ber-AC.

“Uuughh.... Chacha....aakkhh......Oom.... Chacha....aaaahhh....”

Tubuh Marshanda mengejang dengan liar ketika orgasme menerpa dirinya. Kedua kakinya mengapit erat pantat Raj Kumar seakan dia ingin agar penis Raj Kumar menusuk lebih dalam. Raj Kumar pun tak kuasa menahan orgasmenya. Vagina artis cantik itu seakan mengisap dan meremas kuat penisnya. Kontraksi otot vagina Marshanda saat dia orgasme memang luar biasa, sampai seorang Raj Kumar yang biasanya mampu bertahan lama sekarang tak kuasa menahan semprotan maninya yang membanjiri liang vagina Marshanda.

“Aakkkhhh.... Oom juga nyampe Cha. Aaakkhh.. ayo Cha peras semua mani Oom sayang. Biar kamu hamil anak Oom he.. he...”
“Aakhh...sstt...aahhh...”

Setelah orgasme panjang yang melanda mereka berdua, Raj Kumar dan Marshanda pun lemas menikmati sisa-sisa orgasme mereka. Beberapa saat kemudian, Raj Kumar yang pertama kali bangkit. Dia membalikkan tubuh Marshanda sehingga gadis remaja itu tengkurap di atas sofa dengan kaki di atas lantai yang dilapisi karpet. Lutut Marshanda menjadi poros penahan tubuhnya. Kemudian Raj Kumar melepaskan ikatan pada kedua tangan Marshanda. Marshanda yang masih lemas tak mampu berbuat apa-apa, dia hanya bernafas lega karena bajingan ini akhirnya mau membebaskannya. Tapi Marshanda salah besar jika dia berpikir Raj Kumar sudah puas dengan permainanya, karena tak lama kemudian dia merasakan penis raksasa Raj Kumar kembali memasuki vaginanya dari belakang.

“Uuukhh.... ja.. jangan lagi Oom. Chacha capek aaakh....”

Raj Kumar tak memperdulikan rengekan Marshanda. Dia hanya ingin memuaskan nafsunya. Pantat Marshanda yang membulat dia pegangi dengan kedua tangan dan dia langsung memompa gadis belia itu dengan kecepatan tinggi. Terkadang tangannya menampar pantat indah itu hingga Marshanda menjerit kesakitan. Memang lelaki india itu luar biasa, walaupun tadi sudah orgasme tapi tongkolnya masih keras dan siap beraksi lagi. Lama-lama Marshanda yang tadinya lemas menjadi bangkit lagi gairahnya. Desahannya pun kembali terdengar memenuhi ruangan. Raj Kumar pun bertambah semangat mendengar desahan gadis belia yang mulai terhanyut dalam permainannya itu.

Marshanda memang sudah benar-benar terhanyut dalam kenikmatan seks. Pantatnya juga mulai bergerak maju mundur seakan menyambut tusukan Raj Kumar yang ganas. Desahannya yang tadinya lirih menjadi semakin keras, berpadu bagai simponi indah dengan dengusan Raj Kumar yang merasa keenakan menikmati tubuh gadis belia itu. Marshanda seakan lupa dengan kenyataan bahwa dia sedang diperkosa. Bahkan dengan tanpa malu artis remaja yang cantik itu berteriak mengekspresikan kenikmatannya saat orgasme kembali meledak di tubuhnya.

Raj Kumar yang belum keluar merubah posisinya. Kini Marshanda dia gendong berhadapan dengan sambungan lutut gadis itu dia kaitkan ke lengannya dan kedua tangannya menahan pantat Marshanda. Kemudian dia kembali memompa gadis belia itu sambil berdiri.

Marshanda mengalungkan kedua tangannya di leher Raj Kumar agar dia tidak terjatuh. Dengan posisi ini penis Raj Kumar seakan dapat menusuk lebih dalam sampai ke mulut rahim gadis belia itu. Tubuh mereka yang berhimpitan membuat Marshanda merasa nikmat karena payudara dan putingnya yang mengacung tegak bergesekan dengan dada Raj Kumar yang berbulu lebat. Bahkan ketika Raj Kumar mulai melumat bibirnya, tanpa sadar artis cantik itu membalas juga dengan liar. Mereka terus berpacu dalam nafsu sampai puncak kenikmatan itu kembali datang. Mereka orgasme bersamaan, orgasme panjang yang lebih intens dari yang sebelumnya. Bahkan Marshanda untuk pertama kalinya merasakan multi orgasme. Badannya menggeliat liar dalam gendongan Raj Kumar. Raj Kumar pun mendengus liar, menyemprotkan banyak sekali maninya ke vagina gadis itu, seakan-akan semua cadangan spermanya dia tumpahkan semuanya ke memiaw Marshanda. Raj Kumar pun menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dengan Marshanda masih dalam gendongannya. Marshanda merasa kenikmatan yang dirasakannya melolosi seluruh tulang di tubuhnya, dia merasa lemah sekali sehingga dia membiarkan tubuhnya diatas pangkuan Raj Kumar dengan posisi memeluk bajingan yang menodainya dan alat kelamin mereka berdua masih bersatu. Saking lelahnya setelah berpacu dalam nafsu hampir dua jam lamanya, tak lama kemudian Marshanda pun tertidur masih dengan posisi seperti itu.

“He..he... gue beruntung banget bisa nikmatin tubuh cewek cantik kayak kamu Cha. Artis remaja yang sedang naik daun yang jadi impian berjuta lelaki sudah aku nikmati he...he...he...”.

Raj Kumar membiarkan posisi mereka seperti itu. Dia membiarkan tongkolnya lemas dalam vagina Marshanda yang hangat. Tak lama kemudian Raj Kumar pun tertidur juga dengan memeluk Marshanda.

.....................

Raj Kumar terbangun ketika mendengar dering jam bekernya. Jam weker di rumahnya selalu dia stel dengan alarm jam 5 pagi. Raj Kumar kaget karena dia mendapati Marshanda sudah tak ada lagi dalam pelukannya. Tapi setelah dia mengamati keadaan disekelilingnya, dia pun bernafas lega. Ternyata Marshanda tak pergi kemana-mana. Gadis itu duduk meringkuk sambil menangis di dekat pintu. Raj Kumar pun bersyukur karena dia kemarin sempat menyembunyikan kunci pintu ruangan ini hingga Marshanda tidak dapat melarikan diri. Dia pun menghampiri Marshanda yang masih menangis.

“Hu...hu...hu.....hiks..hu..hu ....”
“Kenapa kamu nangis sayang? Oom kan nggak nyakitin kamu. Oom cuma pengen ngajari Chacha kalo ML itu enaaaaak beneer. Chacha ingat kan kalo kemaren Chacha juga nikmatin ML sama Oom sampe teriak-teriak kenceng bener he..he...he...”.
“Hu...hu... Oom jahat. Oom memperkosa Chacha. Chacha udah nggak perawan lagi. En...entar kalo Chacha hamil gimana hu..hu...hu..”.
“Tenang aja Cha. Kalo Chacha hamil, Oom mau kok jadi suami Chacha he... he...he...”.

Marshanda tak bisa membayangkan jika dia harus menjadi istri bajingan ini. Tangisnya pun makin keras.

“Udah... udah... kamu jangan nangis lagi. Sekarang kamu mandi dulu biar badan kamu seger, habis gitu Oom akan antar kamu pulang.”.

Marshanda pun akhirnya berhenti menangis karena harapan dia untuk dapat bebas timbul setelah mendengar janji Raj Kumar. Gadis belia itu pun menurut ketika diajak Raj Kumar menuju kamar mandi karena dia memang ingin membersihkan diri dari bekas perlakuan Raj Kumar terhadapnya.

“Oom keluar dulu, Chacha mau mandi.”, kata Marshanda ketika dia melihat Raj Kumar mengikuti dia kedalam kamar mandi.
“Kenapa Cha? Malu? Oom khan udah lihat semuanya he...he...”, jawab Raj Kumar dengan santai sambil menutup pintu kamar mandi.

Rasa takut, marah, dan juga malu kembali menghinggapi benak Marshanda, tapi dia akhirnya menyerah dan membiarkan tingkah Raj Kumar karena Marshanda ingin bisa lekas pulang dan bebas dari bajingan ini.

Marshanda segera berbilas di bawah shower yang ada di kamar mandi itu mencoba membersihkan tubuhnya yang dia rasakan sangat kotor, kotor oleh aib yang diperbuat oleh Raj Kumar terhadapnya. Hati Marshanda kembali terasa perih ketika dia mencoba membersihkan bekas darah di pangkal pahanya. Dia sudah tak perawan lagi, kehormatannya sudah hilang, diambil secara paksa oleh lelaki yang sekarang dengan santainya melihat dia mandi. Marshanda memejamkan matanya sambil menyabuni seluruh badannya, mencoba melupakan keberadaan lelaki itu. Tapi tiba-tiba sepasang lengan mendekapnya dari belakang.

“Eeh Oom mau ngapain lagi?”, tanya Marshanda ketakutan.
“Tenang, sayang. Oom cuma mau bantu kamu mandi he..he... Sekarang biar Oom yang menyabuni badan kamu yang indah ini.”

Marshanda ingin berontak, tapi akhirnya dia sadar apalah daya seorang gadis seperti dia berhadapan dengan lelaki ini. Marshanda pun akhirnya pasrah dan mendiamkan perbuatan Raj Kumar. Tangan Raj Kumar dengan nakal segera menyerbu buah dada Marshanda. Marshanda mendesah perlahan ketika Raj Kumar mengusap-usap payudaranya yang belum tumbuh sempurna itu dengan sabun. Terkadang Raj Kumar meremas pelan payudara itu, terkadang putingnya dijepit dengan jari-jari Raj Kumar kemudian dipilin lembut. Putting artis belia itu menjadi semakin keras karena rangsangan lelaki yang sudah sangat berpengalaman itu. Tak cuma itu, bibir Raj Kumar pun mulai ikut aktif, mengciumi belakang telinga Marshanda, kuduknya, sampai ke lehernya. Marshanda merasakan tongkol Raj Kumar yang sedari tadi terhimpit belahan pantatnya mulai membesar dan mengeras.

“Uugh... Oom aah...”, desah Marshanda makin mengeras ketika salah satu tangan Raj Kumar mulai mengelus-elus vaginanya. Jari lelaki itu dengan lincah segera menemukan klitorisnya dan mempermainkannya.

Ketika birahi Marshanda mulai meningkat, Raj Kumar tiba-tiba menghentikan aksinya. Tanpa sadar Marshanda sedikit merasa kecewa. Raj Kumar menyuruh Marshanda agar membungkukkan badannya dengan kaki sedikit mengangkang sambil berpegangan ke tembok. Raj Kumar lalu berjongkok di belakang Marshanda. Lidah dan mulutnya yang ganti menjelajahi vagina Marshanda dari belakang. Marshanda kembali mendesah nikmat, lidah Raj Kumar yang besar dan panjang menyelusup linacah ke dalam liang vaginanya. Klitorisnya kembali digosok jari Raj Kumar yang tak mau tinggal diam. Bahkan Marshanda merasakan nikmat lain ketika terkadang dengan tanpa rasa jijik lidah Raj Kumar menjilati anusnya. Rangsangan yang gadis belia itu rasakan makin meningkatkan gairah seksualnya sampai akhirnya setelah beberapa menit Marshanda pun menjerit nikmat diterpa orgasme seksual yang kembali dirasakannya setelah kemarin malam.

“AAKHH.... CHACHA AAAHH... EENAAKK OOM...”

Raj Kumar pun dengan rakus menjilati cairan kenikmatan yang mengalir dari lubang surga Marshanda. Tangannya memegangi tubuh Marshanda agar gadis itu tidak terjatuh.

Raj Kumar lalu duduk diatas dudukan toilet yang tertutup. Dia membiarkan gadis cantik itu menikmati sisa-sisa orgasmenya. Kemudian dia memanggil Marshanda lalu menyuruhnya berjongkok di depannya.

“Itu tadi namanya Oral Seks Cha. Enak khan? Oom sudah memberikan kenikmatan sama kamu tanpa tongkol Oom masuk ke memiaw kamu. Sekarang ganti kamu yang harus memberikan kenikmatan oral seks sama Oom.”
“Ma...ma...maksud Oom apa? Chacha nggak ngerti Oom.”
“Kamu jilatin tongkol Om dengan lidah kamu, lalu kamu hisep2 pake mulut dan bibir kamu yang seksi itu he...he....”.
“Ah Enggak Oom. Chacha nggak mau, khan jijik.”.
“Eits kamu jangan egois gitu donk. Oom tadi kan nggak jijik waktu jilatin memiaw kamu, bahkan anus kamu pun Oom jilatin, dan kamu nikmatin semua itu kan?”.
“Ta.. tapi Chacha nggak bisa Oom.”

Tangan Raj Kumar pun segera menjambak rambut Marshanda, lalu dia membentak gadis manis yang ketakutan itu.

“UDAH!! Jangan banyak omong. Pokoknya sekarang kamu jilatin tongkol Oom atau Oom nggak akan ngelepasin kamu. Ngerti!!”

Dengan perasaan takut dan jijik, Marshanda pun mulai menjilati tongkol Raj Kumar.

“Nah, gitu dong. Aaakh... enak. Jilatin juga kepalanya aakhh... bagus. Lubang kencingnya juga Aakhh....”

Slruup...sllrrupp....

“Sekarang masukin tongkol Oom ke mulut kamu. Hisap kayak kamu menghisap permen lolipop.”

Marshanda mencoba memasukkan tongkol yang besar itu ke dalam mulutnya, tapi hanya kepala dan sebagian kecil dari batangnya saja yang bisa masuk. Raj Kumar mendesah keenakan, dia menyuruh gadis cantik itu mengeluar masukkan tongkolnya ke mulut. Raj Kumar memberi Marshanda petunjuk tentang cara blowjob. Petunjuk Raj Kumar pun dituruti Marshanda dengan baik agar dia tak lagi menerima perlakuan kasar dari bajingan itu. Raj Kumar pun mendesah keenakan karena Marshanda ternyata cepat sekali belajar dan sekarang sudah bisa melakukan blowjob dengan bibirnya yang lembut itu.

“Aaaakhh..... yak gitu Cha aakhh... enak. Kamu pinter banget Cha. Kayaknya kamu berbakat. Natural Cocksucker aahh.... Oom mau nyampe aaakkhhh..... telen semua mani Oom Cha aaaaakkhhh...”

Raj Kumar pun akhirnya orgasme karena nikmatnya blowjob Marshanda. Dia menahan kepala Marshanda agar tak melepas kulumannya. Maninya menyemprot deras di dalam mulut Marshanda. Artis belia itu pun terpaksa menelan sebagian sperma Raj Kumar, sebagian lagi meleleh di sela-sela bibirnya yang masih disumbat tongkol raksasa Raj Kumar.

“Uhuk..uhk...”, Marshanda terbatuk-batuk setelah dia bisa melepaskan tongkolkan Raj Kumar dari mulutnya.
“Aaahh.... kamu benar-benar cewek yang luar biasa Cha. Nggak cuma memiaw kamu aja yang enak, mulut kamu juga yahut he... he... he...”

Setelah Marshanda selesai batuknya, Raj Kumar segera menarik gadis itu ke arahnya. Raj Kumar menyuruh Marshanda memasukkan tongkol Raj Kumar kedalam memiawnya sambil duduk di pangkuan Raj Kumar.

“Ja.. jangan Oom. Chacha nggak mau lagi. Jangan.”
“Sayang, kemaren kita khan juga udah ngelakuin jadi sekali lagi nggak masalah khan?! Awas, kalo kamu nggak nurut perintah Oom, Oom nggak akan ngelepasin kamu dan Oom akan memperkosa kamu terus tiap hari. Kalo kamu nurut apa kata Oom, Oom janji habis ini Oom akan ngelepasin kamu dan nganterin kamu pulang.”.

Marshanda pun akhirnya memilih untuk mematuhi semua perintah bajingan terkutuk ini agar ia bisa bebas. Raj Kumar menyuruhnya untuk mengangkangi Raj Kumar yang masih duduk di toilet. Posisi badan mereka berhadapan.

“Nah, sekarang kamu pegang tongkol Oom, lalu masukin sendiri ke memiaw kamu. Cepat.”
“Akkhh... aduh.”

Marshanda merintih ketika memaksa tongkol besar itu ke memiawnya yang sempit. Gadis itu melakukannya dengan perlahan agar tidak terlalu sakit, sampai akhirnya kepala tongkol Raj Kumar pun bisa masuk ke memiaw sempit itu. Raj Kumar pun menyuruh artis remaja itu untuk memasukkan lebih dalam. Marshanda pun menurutinya, dia memaksa tongkol itu semakin masuk ke dalam liang vaginanya sampai akhirnya dia merasa ujung tongkol yang besar dan panjang sampai menyentuh mulut rahimnya. Raj Kumar lalu menyuruhnya melakukan gerakan naik turun sehingga sekarang kelihatan seperti Marshanda yang ngent*t Raj Kumar.

“Aaahh....ssst...aahhh... ”, rintihan dan desahan nikmat Marshanda mulai terdengar lagi.
“Aaakhh.... kamu pinter Cha. Terus aaahhh.... enak. Sambil goyangin pantat kamu. Puter-puter kayak goyangan ngebornya si Inul aaakhh...”

Marshanda terlarut dalam birahinya. Pantatnya terus dia naik turunkan menunggangi penis Raj Kumar. Kadang pantatnya dia goyangkan, berputar, maju-mundur yang membuat Raj Kumar makin keenakkan. Bahkan ketika Raj Kumar memeluk lalu melumat bibirnya, Marshanda membalasnya tak kalah bernafsu. Desah kenikmatan mereka makin keras berpadu dengan indahnya. Setelah hampir setengah jam mereka berpacu dalam birahi, Marshanda merasakan kalo orgasmenya akan datang. Dia semakin liar menggoyang Raj Kumar, insting alami yang dimilikinya membuat ia tanpa sadar makin mempercepat tempo genjotannya. Raj Kumar yang juga merasa kalo orgasmenya akan datang, segera memegangi pantat Marshanda, membantunya agar naik turun lebih cepat. Bahkan Raj Kumar dengan paksa mencoba membuat tongkolnya menusuk lebih dalam sampai-sampai Marshanda seakan merasa kalo tongkol itu menusuk sampai ke perutnya.

“AAAAKKKHH.......Oom nyampe Cha aaaaakhh....”
“Chacha juga aaaaaakkhhh...........”

Kedua insan itu orgasme bersamaan. Mereka berpelukan erat menikmati sensasi luar biasa yang baru saja mereka rasakan. Setelah beberapa lama mereka tetap dalam posisi itu, Raj Kumar lalu mengajak Marshanda mandi kembali. Setelah mandi dan berganti pakaian, Raj Kumar mengantarkan Marshanda pulang. Dan didalam mobil, dalam perjalanan pulang, Raj Kumar menyuruh Marshanda sekali lagi melakukan blowjob sampai akhirnya dia keluar dalam mulut dengan lesung pipit manis itu. Sebelum melepaskan Marshanda, Raj Kumar mengancam agar gadis itu tidak menceritakan perbuatannya kepada siappun terutama Polisi. Raj Kumar bilang dia merekam persetubuhan mereka berdua tadi malam dalam kamar untuk koleksi pribadi, tapi kalau Marshanda macam-macam, rekaman itu akan disebarkannya hingga karir Marshanda pun akan hancur. Marshanda menangis memohon Raj Kumar agar tidak melakukan hal itu. Raj Kumar menyanggupinya asalkan Marshanda tidak berbuat macam-macam.

Setelah kejadian itu Marshanda tak mau datang ke lokasi syuting. Dia mendesak mamanya agar dia bisa pindah ke PH lain. Mamanya bingung dan mencoba bertanya ada masalah apa, tapi Marshanda tak mau menjelaskan pokoknya dia mau pindah dari Multivision Plus yang telah mengontraknya. Mama Marshanda pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti permintaan putrinya itu. Maka terjadilah skandal perseteruan antara Marshanda dan Multivision Plus seperti yang diberitakan di beberapa media cetak beberapa waktu lalu.

........

beberapa tahun kemudian...........

“Ah..ahh....ahhh....”

Desahan-desahan nikmat terdengar bersahutan dari sebuah apartemen di Jakarta. Seorang gadis cantik dengan liarnya menunggangi seorang laki-laki yang tidur terlentang di ranjang dalam kamar salah satu apartemen itu. Gadis itu bagaikan seorang joki yang ahli sedang mengendarai kudanya. Goyangannya begitu erotis dan panas. Sang lelaki cuma bisa mengerang nikmat karena goyangan si gadis cantik. Liukan liar sang gadis membuat pria itu tak bisa bertahan lama dan dia pun menyemprotkan spermanya ke liang kenikmatan gadis itu. Sang gadis yang belum mencapai puncaknya makin mempercepat goyangannya agar dia bisa mendapatkan puncaknya sendiri. Tapi apa daya penis sang lelaki telah lemas padahal baru satu ronde mereka berpacu. Sang gadis yang penasaran segera turun dari tubuh sang lelaki. Penis sang lelaki yang sudah lemas itu segera dikulum dengan mulutnya. Hisapan mulut, permainan lidah dan segala teknik yang dimilikinya dalam oral seks dikeluarkan gadis itu dengan harapan sang penis bisa berdiri kembali.

“Aaahh.... sudah Cha. Gue udah capek nih. Kamu memang bener-bener cewek yang luar biasa. Permainan kamu diranjang ganas banget. Aahh... gue puas banget bisa ngent*t sama kamu. Makasih ya sayang. Sekarang gue mau tidur sebentar, nanti sore khan kita syuting lagi.”, kata Baim Wong sambil memejamkan matanya, mencoba beristirahat sesudah puas berpacu dalam birahi.

Gadis itu yang ternyata adalah Marshanda yang telah tumbuh menjadi gadis dewasa dengan lekak-lekuk tubuh yang makin indah. Payudara membulat penuh, tak seberapa besar tapi proporsional dengan tubuhnya. Payudara itu dihiasi putting indah yang terlihat selalu mengacung menantang. Vagina yang terawat rapi tanpa rambut. Kaki jenjang. Wajah manis dengan lesung pipit di kedua pipinya. Benar-benar suatu keindahan yang sempurna.

Dengan kesal Marshanda meninggalkan Baim yang tak sanggup memuaskannya dan menuju ke kamar mandi. Dalam kamar mandi, dibukanya lemari kecil yang ada di dalam kamar mandi itu. Marshanda mengambil sesuatu dari lemari itu. Ternyata benda yang diambilnya adalah sebuah dildo yang berukuran besar, dua kali lebih besar dari penis si Baim. Lalu artis cantik yang sedang naik daun itu segera memasukkan dan memainkan dildo itu di dalam memiawnya. Dia berusaha mencapai puncak yang gagal dia dapatkan dalam persetubuhannya dengan Baim Wong. Desahannya pun mulai memenuhi kamar mandi itu.

“Aah..ahh...ini baru namanya tongkol aah...”

Marshanda mendesah nikmat. Dildo dengan ukuran inilah yang bisa memuaskannya, dildo dengan ukuran sebesar tongkol Raj Kumar, bajingan yang mengambil keperawanannya. Marshanda masturbasi sambil mengenang pengalamannya waktu diperkosa Raj Kumar. Dia teringat bagaimana rasanya saat tongkol Raj Kumar yang besar, panjang, dan keras menusuk sampai dalam ke dalam lubang memiawnya. Membuatnya orgasme berkali-kali. Marshanda masih ingat kalo tongkol Raj Kumar masih bisa berdiri dengan gagahnya setelah mengeluarkan maninya. Dia teringat bagaimana hanya dengan permainan lidah Raj Kumar, Marshanda bisa mencapai orgasme. Kenangan-kenangan itu semakin meningkatkan birahi Marshanda, sampai akhirnya dia pun menjerit keras saat orgasmenya pun datang.

Setelah sejenak beristirahat menikmati sisa-sia orgasmenya, Marshanda pun lalu mandi dan kembali lagi ke kamar. Dia melihat Baim sudah terlelap dalam tidurnya. Dasar cowok lemah dan egois, maki Marshanda dalam hati.

Marshanda memang dikenal dalam pandangan khalayak umum sebagai artis yang baik-baik, jarang digosipin. Tapi dikalangan selebriti sendiri, Chacha lebih dikenal sebagai cewek yang bisa diajak “having fun”. Asal cocok, mereka bisa menikmati tubuh Marshanda yang indah itu. Bahkan kepiawaian Marshanda dalam urusan seks menjadi legenda tersendiri dalam kalangan selebritis. Tapi sayang jarang banget yang dapat memuaskan Marshanda dalam urusan birahi.

Marshanda melamun dalam kamar itu. Dia berpikir siapa lelaki yang dapat membuatnya merasakan kenikmatan seperti saat pertama kali dia mengenal seks. Kenikmatan yang begitu intens dan berulang-ulang. Bahkan sampai saat ini tak ada seorang pun yang bisa membuatnya multi orgasme seperti waktu itu. Akhirnya setelah melamun hampir satu jam, Marshanda pun bangkit dari duduknya. Dia meraih Handphonenya lalu memencet-mencet nomor dalam keypadnya. Terdengar nada tunggu.

Tut.... tut.....
“Halo?”, jawab seorang lelaki dari speaker handphone Marshanda.
Marshanda ragu untuk menjawab, dia hanya diam.
“Halo?! Siapa nih?”, tanya laki-laki itu lagi.
Setelah menarik nafas panjang dan mengumpulkan keberaniannya, Marshanda pun berbicara melalui handphonenya.
“Halo. Eeeng.. Oom Kumar. Enggg.... i...ini Chacha Oom.”
?????????????????

Marshanda. There are any Marshanda in here.